Rabu, 20 Januari 2010

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN KAJIAN EKOSISTEM TELAGA WARNA DAN TELAGA PENGILON DI DIENG UNTUK BUDIDAYA

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dataran Tinggi Dieng merupakan salah satu dataran tertinggi di dunia dan menduduki peringkat kedua setelah Dataran Tinggi di Nepal. Secara geografis, Dataran Tinggi Dieng terletak di antara 103,30 derajat garis Bujur Timur dan 111,30 derajat garis Lintang Selatan. Dataran tinggi Dieng berada pada ketinggian 6.802 kaki atau 2.093 m dpl. Temperatur udara rata-rata 150 C, pada bulan Juli-Agustus temperatur turun mencapai di bawah 00 C. Kawasan Dieng terbagi menjadi dua kawasan yaitu Kawasan Dieng Kulon (Dieng Barat) yang terletak di Kabupaten Banjarnegara dan Kawasan Dieng Wetan (Dieng Timur) yang terletak di wilayah Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah, 2009).
Dataran tinggi Dieng merupakan daerah vulkanis yang masih aktif, dapat dilihat pada aktivitas Kawah Si Kidang yang selalu menyemburkan asap belerang putih pekat. Sebagai kawasan vulkanis yang masih sangat aktif, menyebabkan kondisi tanahnya sangat labil, artinya setiap saat, dimana saja, dan kapan saja bisa muncul kawah dan telaga baru, yang biasanya disertai dengan awan panas, dan gas beracun. Sementara itu kawah dan telaga itu bisa juga hilang dalam sekejap dalam hitungan jam atau hari (Sukatno, 2004).
Ekosistem perairan tawar dibagi menjadi dua yaitu ekosistem perairan menggenang (lentik) dan ekosistem perairan mengalir (lotik) (Odum, 1971). Telaga Warna dan Telaga Pengilon merupakan ekosistem lentik yang terletak di Dataran Tinggi Dieng Wonosobo. Kedua telaga tersebut secara geografis berada di dataran wilayah Dieng Wetan. Kedua telaga tersebut mendapat pengaruh dari aktivitas daerah vulkanik yang berada disekitar Dataran Tinggi Dieng. Keindahan dan Keunikan yang dimiliki Telaga Warna dan Telaga Pengilon membuat kawasan ini dijadikan kawasan konservasi dan kawasan ekowisata yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Namun kegiatan ekowisata tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak bagi kualitas air di Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Ekosistem telaga dapat dimanfaatkan sebagai media budidaya. Namun perlu ada kajian khusus terlebih dahulu meliputi pengamatan kualitas air baik dari segi fisika, kimia, maupun biologi seperti pH, temperatur, konduktivitas, kedalaman, salinitas, oksigen terlarut (dissolved oxygen), BOD (biological oxygen demand), warna air, tanaman tepi, substrat dasar, dan keberadaan plankton dan benthik sebagai pakan alami. Praktikum ini dilakukan untuk mengkaji Telaga Warna dan Telaga Pengilon sebagai media budidaya ditinjau dari kualitas airnya.

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah:
1. Mengetahui kondis fisik dan kimia Telaga Warna dan Telaga Pengilon di Dieng.
2. Menganalisis dan mengkaji ekosistem Telaga Warna dan Telaga Pengilon di Dieng untuk budidaya perikanan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Telaga
Ekosistem telaga termasuk habitat air tawar yang memiliki perairan tenang yang dicirikan oleh adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,1–1 cm/detik atau tidak ada arus sama sekali. Oleh karena itu residence time (waktu tinggal) air bisa berlangsung lebih lama. Perairan telaga biasanya memiliki stratifikasi vertikal kualitas air yang bergantung pada kedalaman dan musim (Wetzel, 2001).
Pada dasarnya proses terjadinya telaga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: telaga alami dan telaga buatan. telaga alami merupakan telaga yang terbentuk sebagai akibat dari kegiatan alamiah, misalnya bencana alam, kegiatan vulkanik dan kegiatan tektonik. Sedangkan telaga buatan adalah telaga yang dibentuk dengan sengaja oleh kegiatan manusia dengan tujuan-tujuan tertentu dengan jalan membuat bendungan pada daerah dataran rendah (Odum, 1993).
Umumnya perairan telaga selalu menerima masukan air dari daerah tangkapan air di sekitar telaga, sehingga perairan telaga cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang terangkut bersamaan dengan air yang masuk. Oleh karena itu konsentrasi zat-zat yang terdapat di telaga merupakan resultan dari zat-zat yang berasal dari aliran air yang masuk (Payne, 1986). Kualitas perairan telaga sangat tergantung pada pengelolaan atau pengendalian daerah aliran sungai (DAS) yang berada di atasnya.
Berdasarkan kemampuan penetrasi cahaya matahari menembus ke dalam perairan telaga, wilayah telaga dapat dibagi menjadi tiga mintakat (zone) yaitu: zone litoral, zone limnetik, dan zone profundal. Zone litoral merupakan daerah pinggiran telaga yang dangkal dengan penetrasi cahaya sampai ke dasar, sedangkan zone limnetik adalah daerah air terbuka dimana penetrasi cahaya bisa mencapai daerah yang cukup dalam, sehingga efektif untuk proses fotosintesis. Bagian air di zone ini terdiri dari produsen plantonik, khususnya diatome dan spesies alga hijau-biru. Daerah ini juga merupakan daerah produktif dan kaya akan plankton. Selain itu, daerah ini juga merupakan daerah untuk memijah bagi banyak organisme air seperti insekta. Zone profundal merupakan bagian dasar yang dalam yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif (Cole, 1988).
Berdasarkan kandungan hara (tingkat kesuburan) telaga diklasifikasikan dalam 3 jenis, yaitu: telaga eutrofik, telaga oligotrofik dan telaga mesotrofik. Telaga eutropik (kadar hara tinggi) merupakan telaga yang memiliki perairan yang dangkal, tumbuhan litoral melimpah, kepadatan plankton lebih tinggi, sering terjadi blooming alga dengan tingkat penetrasi cahaya matahari umumnya rendah. Sementara itu, telaga oligotropik adalah telaga dengan kadar hara rendah, biasanya memiliki perairan yang dalam, dengan bagian hipolimnion lebih besar dibandingkan dengan bagian epilimnion. Semakin dalam telaga tersebut semakin tidak subur, tumbuhan litoral jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya tinggi. Telaga mesotropik merupakan telaga dengan kadar nutrien sedang, juga merupakan peralihan antara kedua sifat telaga eutrofik dan telaga oligotrofik. Jorgensen (1990) menambahkan bahwa tingkat trofik (kesuburan) suatu telaga juga dapat dinyatakan berdasarkan kandungan total nitrogen (TN), total fosfat (TP), klorofil-a dan biomassa fitoplankton (Goldmen dan Horne, 1989).
2.3.3 Danau Vulkanik
Danau adalah suatu cekungan pada permukaan bumi yang berisi air. Danau dapat memiliki manfaat serta fungsi seperti untuk irigasi pengairan sawah, ternak serta kebun, sebagai objek pariwisata, sebagai PLTA atau pembangkit listrik tenaga air, sebagai tempat usaha perikanan darat, sebagai sumber penyediaan air bagi makhluk hidup sekitar dan juga sebagai pengendali banjir dan erosi.
Danau vulkanik adalah danau yang terbentuk pada bekas kawah gunung berapi. Contoh yaitu : Danau Batur di Bali.
Danau yang disebabkan oleh kegiatan vulkanik :
• Danau kaldera terbentuk bila di dalam kaldera atau bagian tengah gunung berapi yang runtuh terkumpul air. Danau ini umumnya bulat dan dalam. Danau Toba di Sumatera adalah suatu danau kaldera.
• Danau kawah terbentuk bila dalam kawah, atau lubang bulat mirip corong di puncak gunung berapi terkumpul air. Contohnya ialah danau kawah di Oregon ( Amerika Serikat ).
Danau bendungan lava terbentuk bila aliran lava gunung berapi menyumbat lembah sungai dan menyebabkan terbentuknya danau. Contohnya adalah Laut Galilea di Timur Tengah.
2.2 Ekosistem
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen- komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik (produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi.. Berdasarkan pustaka lain, telaga adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu telaga ke telaga yang lain serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi (Ruttner, 1977 dalam Satari, 2001).
2.2.1 Dieng, Telaga Warna dan Telaga Pengilon
Nama Dieng (konon) berasal dari bahasa Indonesia purba (sebelum Bahasa Kawi) atau mungkin Bahasa Sunda Kuno dan bukan Bahasa Sanskerta yang berasal dari kata ”Di” dan ”Hyang” yang berarti kediaman para Dewa (The Gods Abode). Dari kawasan Dieng ini, sumber mata air Sungai Serayu berada. Sungai Serayu adalah sungai yang mengalir di daerah Jawa Tengah bagian selatan dan bermuara di Cilacap. Sumber mata air ini disebut Tuk Bimo Lukar (mata air Bimo Lukar) (Sukatno, 2004).
Dataran tinggi Dieng merupakan sebuah plateu yang terjadi karena letusan dahsyat sebuah gunung berapi. Dengan demikian kondisi geologisnya sampai sekarang masih relatif labil, bahkan sering terjadi gerakan-gerakan tanah. Beberapa menunjukkan hal tersebut adalah peristiwa hilangnya desa Legetan, terpotongnya jalan antara Banjarnegara, Karangkobar, dan Sukoharjo Ngadirejo maupun retakan-retakan tanah yang mengeluarkan gas beracun seperti peristiwa Sinila (Sukatno, 2004).
Dieng terbentuk dari gunung api tua yang mengalami penurunan drastis (dislokasi), oleh patahan arah barat laut dan tenggara. Gunung api tua itu adalah Gunung Prau. Pada bagian yang mengalami dislokasi itu muncul gunung-gunung kecil yaitu Gunung Alang, Gunung Nagasari, Gunung Panglimunan, Gunung Pangonan, Gunung Gajah Mungkur, dan Gunung Pakuwaja (Sukatno, 2004).
Beberapa gunung berapi masih aktif dengan karakteristik yang khas. Magma yang timbul tidak terlalu kuat, tidak seperti pada Gunung Merapi. Sedangkan letupan-letupan yang terjadi adalah karena tekanan air bawah tanah oleh magma yang menyebabkan munculnya beberapa gelembung-gelembung lumpur panas. Fenomena ini antara lain dapat dilihat pada Kawah Sikidang atau Kawah Candradimuka (Sukatno, 2004).
Terdapat dua buah telaga di dataran tinggi Dieng yaitu Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Kedua telaga tersebut secara geografis berada di dataran wilayah Dieng Wetan. Saat ini, kedua telaga tersebut mengalami tekanan yang cukup besar dan kuat. Hilangnya hutan alam jelas akan menyebabkan kian rendahnya kualitas lingkungan hidup. Telaga Warna dahulu digambarkan memiliki empat warna, yaitu merah, putih, biru, dan kuning. Namun ironis, kenyataannya Telaga Warna sekarang tidak berwarna-warni lagi. Warna yang tersisa hanya warna biru saja, sebagaimana warna telaga-telaga lain pada umumnya. Warna dari Telaga Warna konon terjadi karena di dataran tinggi Dieng merupakan daerah vulkanis, dimungkinkan bahwa Telaga Warna tersebut merupakan bekas sebuah kawah gunung berapi yang mati, dimana dasarnya tercipta dari berbagai endapan (sedimentasi) lahar vulkanik dari berbagai unsur bebatuan dan bahan-bahan kimia yang bercampur menjadi satu, seperti tanah, batu kuarsa, batu granit, belerang dan lain-lain. Dimungkinkan bahwa warna merah dan kuning tercipta dari endapan unsur belerang, warna putih berasal dari endapan bebatuan kapur serta kuarsa. Sedangkan warna biru dasarnya adalah endapan tanah (lumpur) sebagaimana telaga-telaga pada umumnya (Sukatno, 2004).
Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang ada di Dieng merupakan suatu perairan yang belum dimanfaatkan secara maksimal dalam bidang perikanan. Padahal apabila dapat dimanfaatkan dengan maksimal dan baik, telaga tersebut akan sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar telaga tersebut. Namun, keadaan telaga tersebut juga perlu untuk dikaji terlebih dahulu, apakah telaga tersebut cocok apabila dimanfaatkan dalam bidang perikanan seperti untuk budidaya ikan tertentu. Pengkajian tersebut dapat dilakukan dengan mengukur dan melihat faktor fisiko-kimia air dan faktor biologinya berupa kelimpahan dan keragaman plankton.
2.3. Faktor Fisik Kimia
2.3.1. Temperatur
Secara umum temperatur di dalam perairan akan mempengaruhi kehidupan (laju metabolisme), kelarutan oksigen dan gas-gas lain, kerapatan air, daya viskositas serta tegangan permukaan (Sugiharto, 1987). Temperatur merupakan faktor intensitas dari energi panas sehingga temperatur manjadi faktor penting dalam mengatur proses yang terjadi di perairan. Temperatur air berpengaruh besar terhadap proses pertukaran zat bagi makhluk hidup dan juga terhadap jumlah oksigen yang larut dalam air (Soeseno, 1970). Temperatur banyak mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme (Hutabarat, 1985). Temperatur air sangat berpengaruh terhadap distribusi, pertumbuhan, reproduksi, metabolisme dan tingkah laku organisme perairan.Temperatur merupakan salah satu faktor penting yang mendukung proses-proses reaksi dalam perairan karena selain mempengaruhi komponen biotik juga mempengaruhi komponen abiotik (Odum, 1971). Bagi komponen biotik, temperatur sering bertindak sebagai faktor pembatas dalam pertumbuhan dan distribusinya sedangkan bagi komponen abiotik akan mempengaruhi kandungan gas-gas terlarut. Temperatur mempengaruhi kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktifitas biologis serta fisiologis dalam ekosistem air (Barus, 2002). Temperatur air menentukan keberadaan suatu organisme pemijahan, pembenihan dan regulator aktivitas-aktivitas yang dapat berpengaruh merangsang atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan (Pescod, 1973). Temperatur air bukan saja merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisika kimia air tetapi juga sifat fisiologi organisme yang hidup di air tersebut. Steeman-Nielsen (1975) dalam Nontji (1980) menyatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 10 0C akan meningkatkan laju fotosintesis menjadi dua kali lipat. Secara umum, kenaikan temperatur perairan akan mengakibatkan kenaikan aktivitas biologi dan pada gilirannya, memerlukan lebih banyak oksigen di dalam perairan tersebut. Hubungan antara temperatur air dan oksigen biasanya berkorelasi negatif, yaitu kenaikan suhu di dalam air akan menurunkan tingkat solubilitas oksigen dan dengan demikian, menurunkan kemampuan organisme akuatik dalam memanfaatkan oksigen (Odum, 1971). Kisaran temperatur yang baik dalam perairan adalah 250 C – 320 C (Welch, 1952).
2.3.2 Potensial Hidrogen (pH)
Derajat keasaman atau pH merupakan suatu indeks kadar ion hidrogen (H+) yang mencirikan keseimbangan asam dan basa. Derajat keasaman suatu perairan, baik tumbuhan maupun hewan sehingga sering dipakai sebagai petunjuk untuk menyatakan baik atau buruknya suatu perairan (Odum, 1971). Nilai pH juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas perairan (Pescod, 1973). Nilai pH pada suatu perairan mempunyai pengaruh yang besar terhadap organisme perairan sehingga seringkali dijadikan petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan (Odum, 1971). Biasanya angka pH dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator dari adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur kimia dan unsur-unsur hara yang sangat bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik. Tinggi rendahnya pH dipengaruhi oleh fluktuasi kandungan O2 maupun CO2.
Tidak semua mahluk bisa bertahan terhadap perubahan nilai pH, untuk itu alam telah menyediakan mekanisme yang unik agar perubahan tidak terjadi atau terjadi tetapi dengan cara perlahan (Sary, 2006). Tingkat pH lebih kecil dari 4, 8 dan lebih besar dari 9, 2 sudah dapat dianggap tercemar. Angka pH yang sesuai untuk kehidupan ikan-ikan tersebut adalah 6,5-8,4 (Asdak, 2007).
Derajat Keasaman (pH) sangat penting sebagai parameter kualitas air karena pH mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu organisme akuatik dapat bertahan hidup pada kisaran ph tertentu. Fluktuasi pH sangat ditentukan oleh alkaliniitas air tersebut. Suatu perairan yang produktif dan mendukung kelangsungan hidup organisme akuatik terutama ikan menurut PP No. 82 (2001) yaitu berkisar 6-9.
2.3.4 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut (DO) merupakan unsur utama proses metabolisme tumbuhan dan hewan air, terutama pada proses respirasi. Kadar oksigen terlarut pada suatu perairan juga dapat digunakan sebagai petunjuk kualitas suatu perairan. Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills, 1996).
Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosentesis tanaman air, jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah tanaman dan dari atmosfer (udara) yang masuk ke dalam air dengan kecepatan terbatas. Konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaaan jenuh bervariasi tergantung dari suhu dan tekanan atmosfer. Semakin tinggi suhu air, semakin rendah tingkat kejenuhannya (Nybaken, 1988). Oksigen terlarut dalam air merupakan salah satu sifat kimia lingkungan perairan yang sangat penting dan esensial bagi kehidupan organisme didalamnya. Kandungan oksigen terlarut harus diimbangi dengan kandungan CO2 bebas dalam suatu perairan (Wardoyo, 1981). Menurut Pescod (1973) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut sebesar > 6,5 menunjukkan perairan tersebut tidak tercemar atau tercemar ringan, 4,5-6,5 menunjukkan perairan tersebut tercemar ringan, 2,0-4,4 menunjukkan peraiaran tersebut tercemar sedang, dan < 2,0 menunjukkan perairan tersebut tercemar berat.

2.3.5 Konduktivitas
Konduktivitas atau daya hantar listrik, merupakan partikel-partikel yang masuk di suatu perairan. Tingkat konduktivitas perairan akan menunjukan nilai kandungan partikel-partikel yang terkandung di air sekaligus menunjukan tingkat polusi perairan (Odum, 1971).
2.3.5 Salinilitas
Salinitas adalah nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil (‰) (Barus, 2002). Menurut Tseng (1987) dalam Chien (1992) mengatakan bahwa salinitas memiliki pengaruh terhadap tekanan osmotik air. Perubahan salinitas secara cepat umumnya menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Salinitas air dipengaruhi oleh pencampuran air laut dan tawar, curah hujan dan evaporasi.
2.3.6 Letak Geografis
2.4. Plankton
Komunitas merupakan kumpulan populasi dari jenis yang berbeda-beda dimana antara masing-masing jenis tersebut melakukan interaksi baik langsung maupun tidak langsung tergantung peranannya (Suwarso et al, 1998). Struktur komunitas merupakan salah satu analisa komunitas yang berdasarkan bentuk dan sifat struktur utama seperti keragaman, kelimpahan, dominansi, dan kemerataan (Odum, 1971).
Kelimpahan merupakan salah satu petunjuk kepadatan relatif dari suatu organisme di suatu tempat tertentu, selanjutnya dinyatakan bahwa kelimpahan relatif adalah perbandingan kelimpahan individu seluruh jenis dalam suatu komunitas (Krebs, 1978).
Keragaman spesies merupakan hubungan antara jumlah spesies dan individu dalam suatu komunitas. Keragaman tinggi bila tiap individu berbeda spesies dengan tidak adanya dominansi. Keragaman adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragamannya (Odum, 1971). Menurut Lee et al (1978) apabila indeks keragaman >2 maka perairan tersebut dikatakan tidak tercemar atau tercemar sangat ringan, bila indeks 2,0-1,6 maka perairan tersebut dikatakan tercemar ringan, apabila indeks keragaman 1,5-1,0 maka perairan tersebut dikatakan tercemar sedang, dan apabila indeks keragaman <1 maka perairan tersebut dikatakan tercemar berat.
Dominansi adalah jenis (golongan jenis) yang sebagian besar mengendalikan arus energi dan kuat sekali mempengaruhi lingkungan dari jenis lainnya (Odum, 1971). Indeks dominansi berbanding terbalik dengan indeks keragaman, dimana bila indeks dominansi tinggi maka indeks keragamannya kecil.
Plankton adalah jasad-jasad renik yang hidup melayang-layang dalam air, dan selalu mengikuti arus (Sachlan, 1982). Plankton terdiri dari jasad yang hidup melayang di air tawar atau air laut (Djuhanda, 1980). Plankton dibedakan menjadi 2, yaitu zooplankton (hewan) dan fitoplankton (tumbuh-tumbuhan) (Djuhanda, 1980; Hutabarat, 2000). Fitoplankton adalah tumbuh-tumbuhan air yang berukuran sangat kecil yang terdiri dari sejumlah besar kelas yang berbeda (Hutabarat, 2000)., sedangkan menurut Djuhanda (1980) fitoplankton merupakan tumbuhan renik mulai dari ganggang bersel satu sampai dengan ganggang bersel banyak. Fitoplankton merupakan kunci yang membuka kehadiran semua kehidupan dalam air (Djuhanda, 1980). Hal ini disebabkan karena fitoplankton mempunyai peranan yang sangat penting dan merupakan produsen utama bahan-bahan organik di perairan melalui proses fotosintesis (Hutabarat, 2000).
Fitoplankton dikelompokkan dalam divisi utama yaitu Cyanophyceae (ganggang biru) dapat hidup di air tawar dan laut, Chrysophyceae (ganggang kuning kecoklatan termasuk Silicoflagelata) dapat hidup di air tawar dan laut, Haptophyceae (ganggang kuning kecoklatan termasuk Cocolithopora), Chlorophyceae (ganggang hijau) kebanyakan hidup di air tawar dan sedikit di air laut, Parasinophyceae, Euglenophyceae (hidup hanya di air tawar dan payau), Cryptophyceae, dan Dybophyceae (Basmi, 1999; Hutabarat, 2000; Sachlan, 1982).
Zooplankton adalah suatu grup yang terdiri dari berbagai jenis hewan yang banyak macam-nya (Hutabarat, 2000), sedangkan menurut Nybakken (1992) zooplankton merupakan anggota dari plankton yang bersifat hewani dan beraneka ragam jenisnya terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan. Zooplankton dikelompokkan dalam grup-grup utama yaitu dari filum Protista, Cnidaria, Ctenophora, Chaetognatha, Annelida, Arthropoda, Moluska, dan Chordata (Hutabarat, 2000). Zooplankton tidak dapat memproduksi zat-zat organik oleh karena itu mereka harus mendapat tambahan bahan-bahan organik dari makanannya. Zooplankton bersifat herbivora yang memakan fitoplankton secara langsung (Hutabarat, 2000).
2.5. Benthos
Benthik atau hewan makrobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesile, merayap maupun menggali lubang (Kendeigh, 1980; Odum 1993; Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind, 1985), serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Odum, 1993).
Bentik membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan bentik, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan.
Berdasarkan ukurannya, bentik dapat digolongkan ke dalam kelompok bentik mikroskopik atau mikrozoobentos dan bentik makroskopik yang disebut juga dengan makrozoobentos. Menurut Cummins (1975), makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3-5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. APHA (1992) menyatakan bahwa makrozoobentos dapat ditahan dengan saringan No. 30 Standar Amerika. Selanjutnya Slack et all. (1973) dalam Rosenberg and Resh (1993) menyatakan bahwa makrozoobentos merupakan organisme yang tertahan pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500 mikrometer.
Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea dan larva serangga. Sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalve dan Polychaeta. Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins, 1975). Taksa-taksa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan karena sebagian dari padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan (Janto et all., 1981 dalam Nurifdinsyah, 1993).
Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (APHA, 1992).
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas. Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi ling-kungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.
Berdasarkan teori Shelford (Odum, 1993) maka makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit.
Menurut Laevastu dan Taivo, 1996 menyatakan bahwa ekosistem benthik terdiri dari berbagai tumbuhan dan hewan yang paling banyak menghabiskan hidupnya di atas atau di dalam substrat dasar. Menurut Odum (1971), hewan makrobentos merupakan binatang yang berhabitat di sedimen atau hidup di atas atau di dalam substrat dasar yang lain di air tawar, estuarin dan ekosistem laut. Sepanjang hidup atau bagian dari daur hidupnya organisme ini dapat membentuk tempat berlindung, lubang atau jaring sebagai tempat. Komunitas hewan makrobentos hidup di permukaan dasar perairan baik yang melekat, merayap, membenamkan diri atau membuat lubang pada dasar perairan. Makroinvertebrata dapat didefinisi dengan tertahan pada sieve nomor 30 (0.595 mm). (Anonimous, 1995), meskipun tingkat hidup yang lebih awal beberapa spesies makroinvertebrata lebih kecil dari ukuran tersebut. (Rosenbergh dan Resh, 1993).
Hewan makrobentos lebih tepat digunakan sebagai indikator pencemaran organik di suatu perairan, karena pencemaran organik memberikan pengaruh spesifik terhadap masing-masing spesies hewan makrobentos itu. Misalnya saja Diatom Perifiton yang banyak hidup melekat di dasar perairan. Diatom perrifiton sangat penting dalam ekosistem perairan karena merupakan produsen dalam rantai makanan yakni sebagai penghasil bahan organik dan oksigen (Siska, 2008).
Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea dan larva serangga. Sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalvia dan Polychaeta. Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (APHA, 1992). Pada dasarnya hewan bentik terbagi menjadi dua yaitu hewan yang hidup di atas permukaan sedimen disebut epibenthic atau epifaunal dan hewan yang hidup dalam sedimen disebut infaunal atau kadang-kadang disebut sedimentary (Meadows dan Campbell, 1998).

III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut : termometer, ember 10 liter, plankton net no.25, conductivity meter, pH paper universal, mikroskop binokuler, objek dan cover glass, pipet tetes, botol film, buku identifikasi, lup, label, alat tulis, isolasi, botol winkler 250 ml, dan eckman grab.
3.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah larutan formalin 4%, larutan lugol, larutan Mn SO , larutan KOH-KI, larutan Na S O 0,025 N, larutan H SO 4N, indikator amilum 0,5 %, dan aquades.
3.2. Metode
3.2.1 . Temperatur
Dicelupkan termometer pada perairan, ditunggu beberapa menit sampai pengukuran angka stabil. Dilakukan pengukuran di tiga titik, kemudian dirata-ratakan.


3.2.2. Potensial Hidrogen (pH)
Dicelupkan kertas pH pada perairan. Disamakan perubahan warna pada kertas dengan warna skala pH yang tercantum.
3.2.3. Oksigen Terlarut
Dengan menggunakan alat konduktivitimeter yang dicelupkan pada perairan yang sebelumnya telah dikalibrasikan. Ditunggu hingga beberapa saat, kemudian dilihat angka yang tertera pada layar konduktivitimeter.
3.2.4. Konduktivitas dan Salinitas
Sampel air diambil dengan menggunakan botol winkler 250 ml dicelupkan ke dalam perairan hingga tidak terdapat gelembung. Kemudian sampel air ditetesi dengan larutan KOH-KI dan larutan MnSO sebanyak
3.2.6 Letak Geografis
3.2.6. Pengambilan sampel plankton
Pengambilan sampel plankton menggunakan plankton net no. 25 untuk menyaring air dan ember digunakan untuk mengambil air, air yang diambil sebanyak 20 ember. Kemudian sampel planktin dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.
3.2.7. Pengambilan benthik dengan alat eckmen grab
Pengambilan sampel benthik menggunakan alat eckman grab yaitu alat di buka penjepitnya lalu dilepaskan ke dasar sungai lalu tarik dari permukaan air.

3.3. Waktu dan Tempat
Acara praktikum dilakukan hari Rabu, 5 - 6 November 2009 di Telaga Warna dan Telaga Pengilon, Dieng Wonosobo dan pada tanggal 26 Novenber 2009 di Laboratorium Akuatik Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas Jenderal Soedirman.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Oksigen Terlarut
3.4.2 Indeks Keragaman
3.4.3 Kelimpahan Makronvertebrata Bentik
3.4.4 Kelimpahan Plankton



IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel (ke-X) Faktor Fisik nimia di Telaga Warna
Parameter Waktu
18.00 21.00 24.00 03.00 05.00
Ketinggian tempat (mDPAL) 2070 2070 2070 2070 2070
Letak lintang (º)
Letak bujur (º)
Temperatur (ºC)
salinitas ppt
Potensial Hidrogen
Konduktifitas (μmhos/cm)
Oksigen terlarut (ppm)
























No Genera U1 U2 V3 Jml Rataan F Kelimpahan
FxN (individu/L) Keragaman
(H’)
1 Synedra acus 1 1 1 19.41 39 2.953

2 Heteronema acus Ehrbg 1 1 1 19
3 Plank toniella sd 1 1 1 19
4 Rhizosoleria alatar 2 1 2 5 1 78
5 Stavioneis acutum 1 1 1 19
6 Oscillatoria Limnosa Ag 1 1 1 19
7 Miarsstenias caratophora Josh 1 1 1 19

8 Pleuzotaenium undulatum 1 1 1 19
9 Tetramastix apoliensis 1 1 1 39
10 Nauplius 1 1 1 3 1 19
11 Diatoma Vulasne 1 2 1 4 2 19
12 planktoniella sd 1 1 2 1 19
13 Anobialina bypica 1 1 2 1 39
14 Cyclotella openculata 15 4 19 7 19
15 Ceratium extensum 2 2 4 1 19
16 Rattulus rattus 1 1 2 1 19
17 closterium kuetzingii 2 2 4 1 19
18 Nitzschia vermicularis 1 1 2 1 19
19 Richteriella botlipdes lemm 2 2 2 6 2 19
20 Raphidium polymorphun kute 1 1 2 1 19
21 Cyclops tuscus 2 1 3 1 19
22 Cyclops fimbriatus 1 1 2 1 19
23 Cypxl dopsis viduan 1 1 1 3 1 19
24 Cyclops strenuus 1 1 2 1 19
25 Thalassiothrix sp 3 3 1 7 2 19
26 Cyclops strenuus metanqulius 1 1 2 1 136
27 Nitzschia closterium 2 1 3 1 19
28 Amphiphora gigantea 1 1 1 19
29 Blastodinium dalam paracalanus 1 1 1 19
30 Amphiphora uruats 1 1 1 19
31 Pleurogsigma naviculacem 1 1 1 19
32 Pessodinium lunala 1 1 1 19
33 Branchionus callicatus 1 1 1 19
34 Plerosygma Naviculacem 1 1 1 19
35 Synura wela Ehrbg 1 1 1 19
36 Syndera ulna 1 1 1 19
37 Cymbella halvatica 1 1 1 19
38 Scneclesmus obligous kuts 1 1 1 19
39 Polyeclirium lobucatum haeg 1 1 1 19
40 Lacry maria sp 1 1 1 19
41 synopia ultramarina 1 1 1 19
42 Psedeuphausi lotiferons 1 1 1 19
43 diaptomus vulgaris 1 1 1 19
44 Diaptomus bnachyura 1 1 1 19
45 Miaras tosias faliacal bail 1 1 1 19
46 Karthidium siperbum eilv 1 1 1 19
47 Aluna rectangula diapha kosonma 1 1 1 19
48 Lucifer intendius 1 1 1 19
49 Nitzschia lorenziana 1 1 1 19
50 Rhopalol dea gibba 1 1 1 19
51 Ichgodentum var porotilium 1 1 1 19
4.2 Pembahasan
Temperatur di telaga Warna dan Pengilon


Temperatur merupakan faktor dalam kehidupan flora dan fauna akuatik. Temperatur diberbagai tempat akan berbeda-beda, temperatur air mempunyai pengaruh yang universal dan sangat berperan dalam kehidupan. Telaga Warna dan Pengilon termasuk daerah dataran tinggi oleh karena itu temperatur sangat rendah. Melihat dari hasil tersebut maka bisa dikatakan di Telaga Warna tidak bisa dijadikan untuk budidaya.
Temperatur air paling baik dan efesien diukur menggunakan sensor elektronis seperti termistor. Termistor ini memudahkan bagi para pemula untuk mengambil ‘profil temperatur’ dari habitat aquatik (Hutchinson 1967).
4.2 Syarat Budidaya
Syarat Hidup dan Kebiasaan Hidup. Ikan sangat toleran terhadap derajat keasaman (pH) air. Ikan ini dapat bertahan hidup di perairan dengan derajat keasamaan yang agak asam (pH rendah) sampai di perairan yang basa (pH tinggi) dengan pH 5-9. Kandungan oksigen yaitu 02 terlarut yang dibutuhkan bagi kehidupan patin adalah 3-6 ppm. Kadar karbondioksida (CO2) yang bisa ditoleran adalah 9-20 ppm. Tingkat alkalinitas yang dibutuhkan 80-250 ppm. Sementara itu, temperatur air yang optimal untuk pertumbuhan ikan adalah 28-30° C. Habitat aslinya, ikan ini selalu bersembunyi di dalam lubang-lubang. Sebagai ikan nocturnal, ikan baru keluar dari liang persembunyiannya ketika hari mulai gelap. Kebiasaan lain, ikan ini lebih banyak menetap di dasar- perairan daripada muncul di permukaan air. Secara alami,pakan ikan di alam bebas berupa ikan-ikan kecil,cacing, detritus (mikroba pengurai di dasar perairan), serangga, udang-udangan, moluska, dan biji-bijian (Khairul Amri, 2008).

Menggunakan oksigen terlarut

Kadar oksigen terlarut sebesar > 6,5 menunjukkan perairan tersebut tidak tercemar atau tercemar ringan, 4,5-6,5 menunjukkan perairan tersebut tercemar ringan, 2,0-4,4 menunjukkan peraiaran tersebut tercemar sedang, dan < 2,0 menunjukkan perairan tersebut tercemar berat Budidaya ikan merupakan salah satu usaha dalam bidang perikanan yang mana didalam kegiatannya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang dapat menunjang kegiatan budidaya, apabila kondisi lingkungan baik maka kemungkinan dalam usaha budidaya akan berjalan dengan baik. Faktor lingkungan seperti temperatur, pH, kekeruhan, CO2 bebas, O2 terlarut dan BOD akan mempengaruhi aktifitas biologi dan reproduksi bagi ikan. Seperti halnya tingkah laku makan, pertumbuhan, pemijahan dan kelangsungan hidup larva atau benih ikan. Dari hasil tersebut Telaga Pengilon memenuhi syarat untuk budidaya ikan karena oksigen terlarut tinggi maka ikan dapat hidup tetapi tidak dapat bereproduksi, sehingga untuk budidaya kurang efektif, sedangkan pada Telaga Warna oksigen terlarutnya tidak terdeteksi karena faktor lingkungan yang mengandung belerang dan asam sulfat lainnya termasuk perairan tersebut tercemar.
4.2.1. Konduktivitas

Konduktivitas atau daya hantar listrik, merupakan partikel-partikel yang masuk di suatu perairan. Tingkat konduktivitas perairan akan menunjukan nilai kandungan partikel-partikel yang terkandung di air sekaligus menunjukan tingkat polusi perairan (Odum, 1971).

4.2.2. Temperatur

Suhu yang diperoleh di telaga warna antara 20,2ºC. Suhu yang paling baik digunakan pada budidaya adalah antara 25º-32ºC pada kondisi ini pertumbuhan akan maksimum. Tetapi bila dibandingkan dengan kenyataan suhu di Telaga Dieng pada suhu ini pertumbuhan tidak maksimal karena energi yang didapat ikan dari metabolisme hanya akan digunakan untuk mempertahankan hidup.sehingga perairan di Telaga Dieng tidak dapat digunakan untuk budidaya walaupun ikan dapat hidup disana tetapi hanya sebatas untuk mempertahankan hidupnya bukan pertumbuhan dan perkembangbiakan sebagai tujuan dari budidaya (Affrianto, 1988). Suhu di dalam air dapat menjadi faktor penentu atau pengendali kehidupan flora dan fauna akuatis (Asdak, 2007).
4.3 Indeks Keragaman Plankton

Indeks keragaman pada diagram diatas menunjukan telaga pengilon jauh lebih beraneka ragam dikarenakan telaga pengilon lebih jernih dan perairan tidak tercemar. Pada Telaga Warna perairan tercemar ringan sehingga tidak layak untuk budidaya Keragaman spesies merupakan hubungan antara jumlah spesies dan individu dalam suatu komunitas. Keragaman tinggi bila tiap individu berbeda spesies dengan tidak adanya dominansi. Keragaman adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragamannya (Odum, 1971). Apabila indeks keragaman >2 maka perairan tersebut dikatakan tidak tercemar atau tercemar sangat ringan, bila indeks 2,0-1,6 maka perairan tersebut dikatakan tercemar ringan, apabila indeks keragaman 1,5-1,0 maka perairan tersebut dikatakan tercemar sedang, dan apabila indeks keragaman <1 maka perairan tersebut dikatakan tercemar berat (Lee et al, 1978). Kesuburan suatu perairan tergambar dari keberadaan plankton terutama komposisinya.


















V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
- Derajat keasaman di Telaga warna sebesar 2, terlalu asam untuk tempat hidup ikan sedangkan di Telaga pengilon pH 8 sudah memenuhi yarat budidaya.
- Suhu yang diperoleh di telaga warna antara 20,2C. Suhu yang paling baik digunakan pada budidaya adalah antara 25º-32ºC. Pada Telaga Pengilon 22 ºC
- Telaga warna di Dieng Sangat tidak di anjurkan unutuk kegiatan budidaya

5.2 Saran
Praktikum ekologi perairan dilaksanakan di Telaga Dieng, bagus untuk melakukan praktikum tetapi karena dilakukan pada jam-jam tertentu sangat tidak efektif.

















DAFTAR PUSTAKA

Affrianto, Eddy & Evy Liviwaty.1988. Beberapa Metode Budidaya ikan. Kanisius. Yogyakarta
Asdak, 2007. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah
mada university press. Yogyakarta
Basmi, J. 1999. Planktonologi. FPIK-IPB. Bogor.
Irawan, 1992. Ekosistem Komunitas & Lingkungan. Bumi aksara. Jakarta
Karwani, 2006. Manajemen Kualitas Air. Politehnik vedca. Cianjur
Odum, E. P.1971.Fundamental of Ecology .Philadelpia : WB Sounders
Sachlan, M. 1982. Planktonology. Fak. Peternakan dan Perikanan UNDIP. Semarang.
Sary, 2006. Bahan Kuliah Manajemen Kualitas Air. Politehnik vedca. Cianjur









Tabel pengamatan di Telaga Pengilon memakai alat plankton net
Kelimpahan di telaga pengilon
Plankton memakai surber

Rumus Kelimpahan = F x N
Diatoma Vulasne =2x 19,41=39
planktoniella sd =1 x 19,41=19
Anobialina bypica =1 x 19,41=19
Ceratium extensum =4 x 19,41=78
Rattulus rattus =1 x 19,41=19
closterium kuetzingii =1 x 19,41=19
Nitzschia vermicularis =1 x 19,41=19
Richteriella botlipdes lemm =1 x 19,41=19
Raphidium polymorphun kute =2 x 19,41=39
Cyclops tuscus =1 x 19,41=19
Cyclops fimbriatus =1 x 19,41=19
Cypxl dopsis viduan =1 x 19,41=19
Cyclops strenuous =2 x 19,41=39
Thalassiothrix sp =1 x 19,41=19
Cyclops strenuus metanqulius =1 x 19,41=19
Nitzschia closterium =1 x 19,41=19
Synedra acus =1 x 19,41=19
Heteronema acus Ehrbg =1 x 19,41=19
Plank toniella sd = 1 x 19,41=19
Stavioneis acutum = 1x 19,41=19
Oscillatoria Limnosa Ag = 1 x 19,41=19
Miarsstenias caratophora Josh = 1 x 19,41=19
Pleuzotaenium undulatum = 1 x 19,41=19
Tetramastix apoliensis = 1 x 19,41=19
Nauplius = 1 x 19,41=19
Cyclotella openculata = 7 x 19,41=136
Amphiphora gigantean = 1 x 19,41=19
Blastodinium dalam paracalanus = 1 x 19,41=19
Amphiphora uruats = 1 x 19,41=19
Pleurogsigma naviculacem = 1 x 19,41=19
Pessodinium lunala = 1 x 19,41=19
Branchionus callicatus = 1 x 19,41=19
Plerosygma Naviculacem = 1 x 19,41=19
Synura wela Ehrbg = 1 x 19,41=19
Syndera ulna = 1 x 19,41=19
Cymbella halvatica = 1 x 19,41=19
Scneclesmus obligous kuts = 1 x 19,41=19
Polyeclirium lobucatum haeg = 1 x 19,41=19
Lacry maria sp = 1 x 19,41=19
synopia ultramarina = 1 x 19,41=19
Psedeuphausi lotiferons =1 x 19,41=19

Keragaman di Telaga Pengilon
Diatoma Vulasn = - Σ ni ln ni
N N
= 39 ln 39 = -0.117
1110 1110

planktoniella sd = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Anobialina bypica = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Ceratium extensum = 78 ln 78 = -0.185
1110 1110

Rattulus rattus = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

closterium kuetzingi i= 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Nitzschia vermicularis = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Richteriella botlipdes lemm = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Raphidium polymorphun kute= 39 ln 39 = -0.117
1110 1110

Cyclops tuscus = 19 ln 19 =-0.069
1110 1110

Cyclops fimbriatus = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Cypxl dopsis viduan = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Cyclops strenuous = 39 ln 39 = -0.117
1110 1110


Thalassiothrix sp = 19 ln 19 = -0.069
110 110

Cyclops strenuus metanqulius= 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Nitzschia closterium = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Synedra acus = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Heteronema acus Ehrbg = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Plank toniella sd = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Stavioneis acutum = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Oscillatoria Limnosa Ag = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Miarsstenias caratophora Josh = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110



Pleuzotaenium undulatum = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Tetramastix apoliensis = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Nauplius = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Cyclotella openculata = 136 ln 136 = -0.257
1110 1110


Amphiphora gigantean = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Blastodinium dalam paracalanus =19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Amphiphora uruats = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Pleurogsigma naviculacem = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Pessodinium lunala = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Branchionus callicatus = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Plerosygma Naviculacem = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Synura wela Ehrbg = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Syndera ulna = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Cymbella halvatica =19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Scneclesmus obligous kuts = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Polyeclirium lobucatum haeg = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Lacry maria sp = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

synopia ultramarina = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Psedeuphausi lotiferons = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

H’ = -∑ (-0.117 -0.069 -0.069 -0.185 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.117 -0.069 -0.069 -0.069-0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.257 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069)
= 2.953





F =








Kelimpahan di Telaga Pengilon
Eckmen Bentik
Tabel pengamatan bentik dengan alat eckmen grab
No Genera Ul.1 Ul.2 Ul.3 Jumlah Kepadatan
(individu/m2) Keragaman
1 Anelida 2 2 6 10 4 0.3185
2 Odonata 1 1 1
3 Ephemeptora 1 1 1



Kepadatan = Σ ni

A× s

Σ ni : Jumlah data
A : Luas penampang = 8
s : jumlah pengambilan bentik = 3


Kelimpahan Anelida = Σ ni
A × s
= 10 = 4 individu/m3
8 ×3

Kelimpahan Odonata = 1 = 1 individu/m3
8×3


Kelimpahan Ephemeroptera = 1 = 1 individu/m3
8×3 +

Total = 6 individu/m3

Keragaman = - Σ ni ln ni
N N

= - Σ (10 ln 10 ) +( 1 ln 1 ) + ( 1 ln 1 )
12 12 12 12 12 12

= - ( (- 0,1519) + (-0,0833) + (-0,0833))

= -(-0,3185)
= 0,3185













No Genera Ulangan N (Individu) Kelimpahan (Individu/L) H’
1 2 3
1. Hyloteca - 1 2 1 29 2.953

2. Desmidium - 1 - 1 29
3. Gronblandia 1 1 1 1 29
4. Cyclotella 2 2 1 2 58
5. Stentor 1 - - 1 29
6. Synedra 1 - 1 1 29
7. Closterium 1 2 - 1 29
8. Asterionella - - 1 1 29
9. Nitzschia 1 - - 1 29
10. Eunotia - 1 - 1 29
11. Heteronema 1 - - 1 29
Jumlah 348


• Keragaman ( H’) = =



1. H’ =

= 0,111111111 . – 2,197224577
= 0,244136064


2. H’ =

= 0,037037037 . -3,295836866
= 0,122068032


3. H’ =

= 0,111111111 . -2,197224577
= 0,13462

4. H’ =

= 0,006097561 . -1,686398954

= 0,244136064


5. H’ =

= 0,037037037. -3,295836866
= 0,122068032

6. H’ =

= 0,074074074. -2,602689685
= 0,192791829


7. H’ =

= 0,111111111 . -2,197224577
= 0,244136064


8. H’ =

=0,037037037 . -3,295836866

= 0,122068032

9. H’ =

= 0,074074074 . -2,602689685
= 0,192791829


10. H’ =

= 0,037037037 . -0,037037037
= 0,122068032

11. H’ =

= 0,037037037 . -0,037037037
= -0,001371742

12. H’ =

= 0,037037037. -0,037037037
= -0,001371742

13. H’ =

= 0,037037037 . - 0,037037037
= -0,001371742


14. H’ =

= 0,037037037 . - 0,037037037
= -0,001371742

15. H’ =

= 0,037037037 . - 0,037037037
= -0,001371742

Keterangan :
1. Hyloteca undulata gronbi
2. Desmidium baileyi
3. Gronblandia inflata scott
4. Cylotella operculate
5. Stentor sp
6. Synendia sp
7. Closterium
8. Asterio nella gracillina
9. C. Elliptica
10. Closterium kuetzingii
11. Nazschia vermicularis
12. Eunotia ahrenbergii
13. N. Curvula
14. Heteronema acus ehibg
15. O. leave var microcanthum nordst

F =
=
= 29,116 / L

Kelimpahan Plankton / liter = F x N
= 29,116 / L x 348
= 10132 / L
Keragaman
H’ = pi ln pi
= -
=
=
= - (-0,2071) + (-0,2071) + (-0,2071) + (-0,2986) + (-0,2071)
+ (-0,2071) + (-0,2071) + (-0,2071) + (-0,2071) + (-0,2071)
+ (-0,2071)
= 2,3696





LAPORAN PRAKTIKUM
EKOLOGI PERAIRAN
KAJIAN EKOSISTEM TELAGA WARNA DAN
TELAGA PENGILON DI DIENG UNTUK BUDIDAYA










Oleh :
Raina Dwi Putri. A
H1H008021






JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS SAIN DAN TEKNIK
UNIVERSITAS JEDRAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2009
LAPORAN PRAKTIKUM
EKOLOGI PERAIRAN
KAJIAN EKOSISTEM TELAGA WARNA DAN
TELAGA PENGILON DI DIENG UNTUK BUDIDAYA

Oleh


Nama : Raina Dwi Putri Apriyani
Nim : HIH008021
TTL : Bekasi, 30 April 1990
Alamat : Jln. H. Madrani no. 15 Rt 07/ Rw 07

Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Responsi
Praktikum Ekologi Perairan Di Jurusan Perikanan dan Kelautan
Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto


Menerima dan disyahkan
Pada tanggal Desember 2009
Penulis Asisten


Raina Dwi Putri Apriyani Teguh Eko Wahyono
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan
Daftar isi
BAB I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
I.2 Tujuan
BAB II . TINJAUAN PUSTAKA


BAB III. MATERI DAN METODE

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar