Rabu, 20 Januari 2010

Tugas ekoper aliran energi dan siklus meteri di Dieng

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dieng merupakan kawasan yang terletak di daerah dataran tinggi atau di daerah pegunungan. Daerah ini terletak sekitar 28 km dari kabupaten Wonosobo. Daerah dieng terletak di perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Desa Dieng terbagi menjadi dua, yaitu: Daerah desa Dieng Kulon ( barat ), yang terletak di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah dan Daerah desa Dieng Wetan ( timur ), Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. (Wikipedia)
Nama Dieng sendiri berasal dari bahasa Sunda Kuno yang di ambil dari kata “ Di ” yang berarti artinya “ tempat ” atau “ gunung ” dan kata “ Hyang ” yang berarti artinya ( Dewa ). Dengan demikian, Dieng berarti daerah dataran tinggi atau daerah pegunungan tempat para dewa bersemayam. Nama Dieng berasal dari Bahasa Sunda karena diperkirakan sebelum tahun 600 M di daerah tersebut didiami oleh Suku Sunda dan bukan Suku Jawa. Tapi pada zaman sekarang di daerah Dieng didiami oleh Suku Jawa. (Wikipedia)
Kawasan Dieng mempunyai ketinggian mencapai sekitar 6000 kaki lebih atau sekitar 2.093 m di atas permukaan laut. Suhu di daerah Dieng sangat sejuk dan juga sangat dingin sekali pada malam hari. Temperaturnya berkisar antara 15 — 20°C pada saat siang hari dan 10 — 11°C pada saat malam hari. Bahkan, suhu udara terkadang dapat mencapai 0°C di saat pagi hari, inin terjadi antara bulan Juli — Agustus. Penduduk setempat menyebut suhu ekstrem itu sebagai bun upas yang berarti artinya “ embun racun ” karena embun ini dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian yang berada di kawasan Dieng tersebut. Sehingga pada bulan Juli — Agustus penduduk setempat sering kali mengalami gagal panen karena tanamannya pada rusak akibat embun racun tersebut. (Wikipedia)
Membuktikan telah terjadi aliran energi dan siklus materi, sehingga dapat menyebabkan perubahan suhu yang sangat ekstrem. Aliran energi yaitu suatu perpindahan energi yang saat akan habis energinya dan tentu saja akan mengalami perubahan bentuk.
Selain kawah, terdapat pula danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan yaitu danau vulkanik :
* Telaga Warna, obyek wisata dengan tempat persemadian di dekatnya
* Telaga Cebon, dekat desa wisata Sembungan
* Telaga Merdada
* Telaga Pengilon
* Telaga Dringo
Dalam aliran energi terdapat rantai makanan. Rantai makanan yaitu pengaturan linear yang menunjukkan transfer energi dan materi organic melalui berbagai tingkatan tropic dalam suatu ekosistem. Pada setiap rantai makanan, organisme mempunyai peranan masing-masing dan dimasukkan dalam suatu kategori. Kategori tersebut merupakan suatu konsep tingkatan tropic, yaitu susunan yang teratur, dan dimana tiap tingkatan bergantung pada tingkatan sebelumnya sebagai sumber energi. Tingkatan tropic itu terbagi menjadi produsen, konsumen 1, konsumen 2, konsumen 3, dan pengurai

2. Tujuan
• Mengetahui aliran energi dan siklus materi di Dieng
• Mengetahui jumlah ekosistem yang berada pada di Dieng










II.TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Ekosistem
Hubungan saling mempengaruhi antara makhluk hidup dengan lingkungannya membentuk suatu sistem disebut Ekosistem. Di dalam sebuah ekosistem juga terdapat satuan-satuan makhluk hidup yang meliputi individu,populasi,komunitas da biosfer. Bagian-bagian satuan makhluk hidup penyusun ekosistem yaitu;
• Istilah individu berasal dari bahasa latin,yaitu in yang berarti tidak dan dividus yang berartidapat di bagi.Jadi individu adalah makhluk hidup yang berdiri sendiri yang secara fisiologis bersifat bebas atau tidak mempunyai hubungan dengan sesamanya.Individu juga disebut satuan makhluk hidup tunggal.
• Populasi. berasal ari bahasa latin,yaitu populus yang berarti semua orang yang bertempat tinggal pada suatu tempat.Dalam ekosistem,populasi berarti kelompok makhluk hidup yang memiliki spesies sama [sejenis] dan menempati daerah tertentu.
• Komunitas adalah berbagai jenis makhluk hidup yang terdapat di suatu daerah yang sama,misalnya halaman sekolah.
• Biosfer adalaha semua ekossistem yang berada di permukaan bumi.
Komponen-komponen ekosistem.
Ekosistem merupakan kesatuan dari seluruh komponen yang membangunnya. Di dalam suatu ekosisiem terdapat kesatuan proses yang saling terkait dan mempengauhi antar semua komponen.Pada suatu ekosistem terdapat komponen yang hidup[biotik] dan komponen tak hidup[abiotik].
[1] Komponen biotik
Mansia,hewan dsn tumbuhan termasuk koomponen biotik yaang terdapat dalamsuatu ekosistem. Komponen biotik di bedakan menjadi 3golongan yaitu produsen,konsumen dan dekomposer.
[2] Komponen abiotik.
Bagian dari komponen abiotik adalah ;
• Tanah.
Sifat-sifa fisik tanah yang berperan dalam ekosistem meliputi tekstur,kematangan, dan kemapuan menahan air.
• Air.
Hal-hal penting pada air yang mempengaruri kehidupan makhluk hidup adalah suhu air,kadar mineral air,salinitas,arus air,penguapan,dan kedalaman air.
• Udara.
Udara merupakan lingkungan abiotik yang berupa gas.Gas itu berbentuk atmosfer yang melingkupi makhluk hidup. Oksigen,karbon dioksida,dan nitrogen merupakan gas yang paling pentung bagi kehidupan makhluk hidup.
• Cahaya matahari
Cahaya matahari merupakan sumber energi utama bagi kehidupan di bumi ini. Namun demikian,penyebara cahaya ddi bumi belum merata.Oleh karena itu, organisme harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang intensitas dan kualitas cahayanya berbeda.
• Suhu atau temperatur.
Setiap makhluk hidup memerlukan suhu optimum untuk kegiatan metabolisme dan perkembangbiakannya.

Aliran energi dan Siklus materi
Ekosistem berfungsi karena adanya aliran energi dan siklus materi. Saling pengaruh mempengaruhi antara aliran dan daur materi di dalam ekosistem akan menghasilkan keadaan ekosistem yang yang seimbang, tidak ada satupun kehidupan tanpa membutuhkan energi. Sebab untuk bernapas, bergerak, berkembang biak, makan, tidur dan segala aktifitasnya membutuhkan energi. Energi mengalir dalam satu arah, sedangkan materi berjalan dalam sebuah siklus. Siklus materi terdiri dari siklus CHONPS ( Karbon, Hidrogen, Oksigen, Nitrogen, Phospor, Sulfur).
1. Daur Air.
Air sangat penting karena fungsinya sebagai pelarut kation dan anion, pengatur suhu tubuh, pengatur tekanan osmotic sel, dan bahan baku fotosintetis. Di alam daur air sebagai berikut: Semua tempat yang terkena enegi matahari (air laut,dll) akan menguap termasuk pada tumbuhan dan hewan. Akibat tiupan angina, awan menuju permukaan daratan. Molekul air sangat penting bagi kehidupan. Air merupakan alat transfer utama bagi pemindahan zat dalam beberapa daur biogeokimia. Air bergerak dalam daur air secara global. Daur air ialah pergerakan air melalui sistem biotik dan abiotik. Dalam proses fotosintesis, air diperlukan untuk membentuk karbohidrat. Selain itu, air juga diperlukan untuk berbagai reaksi metabolik di dalam tubuh mahkluk hidup. Di atmosfer air tersedia dalam bentuk uap air. Uap air berasal dari proses evaporasi (penguapan). Baik yang berasal dari danau, sungai, tanah atau permukaan tubuh mahkluk hidup, permukaan daun tumbuhan (lebih dikenal transpirasi)terutama evaporasi dari lautan. Pada saat molekul-molekul air di atmosfer bergerak mengikuti pola angin, kelembapan udara menyebabkan suhu menjadi lebih dingin. Selanjutnya, uap air terkondensasi menjadi tetes-tetes air dan jatuh sebagai air hujan atau salju. Ketika hujan jatuh di daratan, beberapa di antaranya menjadi air permukaan, mengalami penguapan, dan terserap di dalam tanah.Sebagian dari air ini mengalir ke bawah melewati tanah dan bebatuan, kemudian tersimpan dalam tanah atau di bawah danau yang disebut sebagai air tanah dalam. Sebagian lagi mengalir di permukaan tanah membentuk aliran air dan sungai, yang mana nantinya membawa air ke lautan. Sebagian air diserap oleh tumbuhan, digunakan untuk proses metabolisme dan mengembalikannya ke udara melalui transpirasi. Transpirasi dan evaporasi dari permukaan tanah menghasilkan kumpulan uap air yang disebut awan, yang akan melepaskan airnya sebagai hujan dan memulai siklus lagi. Pengaruh suhu yang rendah mengakibatkan terjadinya kondensasi uap air menjadi titik-titik air hujan. Hujan turun di permukaan bumi sebagian meresap ke daam tanah, sebagian dimanfaatkan oleh hewan dan tumbuhan (yang tidak diserap akan menjadi mata air) sebagian lagi mengalir ke sungai-sungai sampai laut. Setelah dimanfaatkan manusia, hewan ,dan tumbuhan dikeluarkan lagi dan menguap. Dan air yang ada di dalam tanah mengalir sampai laut semuanya berlanjut terus. Jika terjadi ganguan daur air, misal illegal logging maka terjadi banjir dan kegiatan distribusi tak lancar maka terjadi kekeringan seperti di Indonesia.
2. Daur Karbon dan Oksigen
Karbon dan oksigen juga penting bagi kehidupan seperti penyusun materi dalam tubuh dan digunakan sebagai fotosintetis. Di alam daur ini sebagai berikut:
Awalnya karbon dioksida diserap oleh tumbuhan melalui fotosintetis dijadikan glukosa. Lalu disusun menjadi amilum, kemudian diubah menjadi senyawa gula yang lain, lemak, protein, dan vitamin. Pada proses pernafasan tumbuhan, dihasilkan lagi karbondioksida dan oksigen. Daur oksigen juga sama. Karbon merupakan bahan dasar dari semua bahan organik. Aliran karbon berjalan beriringan secara paralel dengan aliran energi. Sumber pokok karbondioksida (CO2) ada di atmosfer. Selain itu, komponen karbon juga tersedia dalam bahan bakar fosil (batubara, gas alam, dan minyak). Hewan makan tumbuhan dapat karbon lalu setelah berjalannya waktu tubuh hewan dan tumbuhan mati dan diuraikan menjadi karbon dioksida, air, dan mineral. Karbon tadi dilepaskan ke udara dan seterusnya. Dari keduaunsur tadi yang paling panjang daurnya adalah karbon. Karbon dioksida di atmosfer merupakan sumber karbon bagi tumbuhan, terutama ketika melakukan fotosintesis. Karbon tersebut dapat berpindah ke hewan ketika mereka memakan tumbuhan. Selanjutnya, tubuh hewan dan tumbuhan yang sudah mati akan diuraikan oleh mahkluk hidup pengurai menjadi karbondioksida, air, dan mineral. Karbondioksida akan kembali ke atmosfer dari penguraian juga melalui sistem respirasi. Pada daur karbon dan oksigen memerlukan hewan dan tumbuhan yang mati dalam waktu yang lama untuk membentuk batubara di dalam tanah serta pengurai juga diperlukan dalam mengurai hewan dan tumbuhan yang telah mati. Tumbuhan dan hewan juga terlibat dalam daur air.
3.Daur Nitrogen
Tumbuhan dan hewan membutuhkan nitrogen untuk membentuk asam amino untuk membentuk protein. Selain itu, nitrogen diperlukan dalam pembentukan senyawa nitrogen, seperti asam nukleat (ADN dan ARN). Meskipun 78% di udara terdapat nitrogen bebas, namun tumbuhan dan hewan pada umumnya tidak mampu menggunakannya dalam bentuk bebas. Nitrogen harus diubah menjadi bahan nitrogen lain sehingga dapat digunakan. Nitrogen diikat oleh bakteri yang ada di dalam tanah (biasanya dalam bentuk amonia). Selanjutnya oleh bakteri nitrifikasi diubah menjadi nitrit (NO2-), kemudian menjadi nitrat (NO3-), yang mana dapat diserap dari tanah oleh tumbuhan (disebut proses nitrifikasi). Beberapa tanaman mempunyai nodul pada akarnya yang di dalamnya terdapat bakteri pengikat nitrogen. Bakteri mengubah banyak nitrogen menjadi asam amino yang dilepaskan ke jaringan tumbuhan. Tanaman dengan nodul ini mampu hidup dalam kondisi tanah yang miskin nitrogen, misalnya ercis, tanaman dengan daun menjari dan tanaman lain yang termasuk dalam keluarga kacang-kacangan (legume).Nitrogen berfungsi sebagai pembentuk asam amino merupakan persenyawaan pembentuk molekul protein.Selanjutnya protein sebagai pembentuk tubuh.Daur Nitrogen di alam sebagai berikut: Atmosfer mengandung sekitar 70% Nitrogen dalam bentuk unsur, tapi yang diperlukan dalam bentuk senyawa Yaitu ketika petir keluar menyebabkan nitrogen bersenyawa jadi nitrat. Tumbuhan menyerap nitrat dari tanah utuk dijadikan protein lalu tumbuhan dimakan oleh kosumer senyawa nitrogen pindah ke tubuh hewan. Urin, bangkai hewan, dan tumbuhan mati akan diuraikan oleh pengurai jadi ammonium dan ammonia. Bakteri Nitrosomonas mengubah jadi nitritlalu diubah lagi oleh bakteri Nitrobacter menjadi nitrat. Kemudian nitrat diserap oleh tumbuhan. Selanjutnya sama dan begitu. Selain melalui petir juga melalui bakteri Rizobium yang bersimbiosis pada tumbuhan kacang-kacangan membentuk bintik akar. Sedikit tambahan proses pengubahan nitrit jadi nitrat disebut nitrifikasi. Dan proses pengubahan nitrit atau nitrat jadi nitrogen bebas disebut denitrifikasi. Kadang-kadang tanaman ini digunakan untuk mengisi lahan yang miskin nitrogen selama masa perputaran setelah panen padi. Beberapa hasil penelitian genetik yang diorientasikan terhadap pemberian tanaman panen yang lain (jagung, gandum) yang mempunyai kemampuan untuk mengikat nirogen. Kemampuan yang secara besar dapat mengurangi kebutuhan pemupukan pertanian. Dalam ekosistem air, alga hijau-biru juga mampu menyerap nitrogen. Nitrogen juga dapat terikat di atmosfer melalui masuknya energi elektrik misalnya melalui penyinaran. Bakteri pemecah memecah protein dalam tubuh organisme mati atau hasil sisa mereka menjadi amonium, kemudian nitrit atau nitrat dan akhirnya menjadi gas nitrogen yang mana akan dilepaskan ke atmosfer dari mulai nitrogen diikat dan berputar lagi. Semua hewan hanya memperoleh nitrogen organik dari tumbuhan atau hewan lain yang dimakannya. Protein yang dicerna akan menjadi asam amino yang selanjutnya dapat disusun menjadi protein-protein baru pada tingkat trofik berikutnya. Ketika makhluk hidup mati, materi organik yang dikandungnya akan diuraikan kembali oleh dekomposer sehingga nitrogen dapat dilepaskan sebagai amonia. Dekomposisi nitrogen organik menjadi amonia lagi disebut amonifikasi. Proses tersebut dapat dilakukan oleh beberapa bakteri dan mahkluk hidup eukariotik.
Contoh beberapa mikroorganisme yang terlibat dalam daur nitrogen ialah :

• .Nitrosomanas mengubah amonium menjadi nitrit.
• Nitrobacter mengubah nitrit menjadi nitrat
• Rhizobium menambat nitrogen dari udara
• Bakteri hidup bebas pengikat nitrogen seperti Azotobakter (aerobik) dan Clostridium (anaerobik)
• .Alga biru hijau pengikat nitrogen seperti Anabaena, Nostoc dan anggota-anggota lain dari ordo Nostocales
• .Bakteri ungu pengikat nitrogen seperti Rhodospirillum.
Meskipun pengikatan secara alami menghasilkan cukup nitrogen untuk proses yang berlangsung secara alami, namun pembentukan nitrogen oleh industri yang digunakan untuk pemupukan dan produk lain melampui kebutuhan ekosistem darat.

4. Daur Fosfor (Daur Sendimentasi)
Fosfor merupakan elemen penting dalam kehidupan karena semua makhluk hidup membutuhkan fosfor dalam bentuk ATP (Adenosin Tri Fosfat), sebagai sumber energi untuk metabolisme sel. Fosfor juga ditemukan sebagai komponen utama dalam pembentukan gigi dan tulang vertebrata. Daur fosfor tidak melalui komponen atmosfer. Fosfor terdapat di alam dalam bentuk ion fosfat (fosfor yang berikatan dengan oksigen). Ion fosfat terdapat dalam bebatuan. Adanya peristiwa erosi dan pelapukan menyebabkan fosfat terbawa menuju sungai hingga laut membentuk sedimen. Adanya pergerakan dasar bumi menyebabkan sedimen yang mengandung fosfat muncul ke permukaan. Di darat tumbuhan mengambil fosfat yang terlarut dalam air tanah.
Fosfor merupakan bahan pembentuk tulang pada hewan. Semua mahluk memerlukan sebagai pembentuk DNA, RNA, protein, energi (ATP), dan senyawa organik lainnya. Daur fosfor lebih sederana dari pada daur lainnya karena tidak melibatkan atmosfer. Di alam daur fosfor sebagai berikut:
Dalam tanah mengandung fosfat anorganik yang dapat diserap oleh tumbuhan. Kemudian tumbuhan dimakan oleh konsumer sehingga fosfor berpindah ke hewan. Tumbuhan dan hewan mati, feses, dan urinnya akanterurai menjadi fosfat organik. Oleh bakteri fosfat tersebut diubah menjadi fosfat arorganik yang dapat diserap tumbuhan. Dan seperti biasa akan terulang.
Pada daur fosfor diperlukan pengurai untuk menguraikan hewan dan tumbuhan yang mati menjadi fosfat anorganik. Fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus.Daur sedimentasi disebut juga daur fosfor.Fosfor merupakan elemen penting dalam kehidupan karena semua makhluk hidup membutuhkan posfor dalam bentuk ATP (Adenosin Tri Fosfat), sebagai sumber energi untuk metabolisme sel.Posfor terdapat di alam dalam bentuk ion fosfat. Ion Fosfat terdapat dalam bebatuan. Adanya peristiwa erosi dan pelapukan menyebabkan fosfat terbawa menuju sungai hingga laut membentuk sedimen. Adanya pergerakan dasar bumi menyebabkan sedimen yang mengandung fosfat muncul ke permukaan. Di darat tumbuhan mengambil fosfat yang terlarut dalam air tanah. Herbivora mendapatkan fosfat dari tumbuhan yang dimakannya dan karnivora mendapatkan fosfat dari herbivora yang dimakannya. Seluruh hewan mengeluarkan fosfat melalui urin dan feses. Bakteri dan jamur mengurai bahan-bahan anorganik di dalam tanah lalu melepaskan pospor kemudian diambil oleh tumbuhan.

5. Daur Belerang
Belerang atau sulfur merupakan unsur penyusun protein. Tumbuhan mendapat sulfur dari dalam tanah dalam bentuk sulfat (SO4 ). Kemudian tumbuhan tersebut dimakan hewan sehingga sulfur berpindah ke hewan. Lalu hewan dan tumbuhan mati diuraikan menjadi gas H2S atau menjadi sulfat lagi. Secara alami, belerang terkandung dalam tanah dalam bentuk mineral tanah. Ada juga yang gunung berapi dan sisa pembakaran minyak bumi dan batubara.Daur tipe sedimen cenderung untuk lebih kurang sempurna dan lebih mudah diganggu oleh gangguan setempat sebab sebagian besar bahan terdapat dalam tempat dan relatif tidak aktif dan tidak bergerak di dalam kulit bumi. Akibatnya, beberapa bagian dari bahan yang dapat dipertukarkan cenderung " hilang" untuk waktu yang lama apabila gerakan menurunnya jauh lebih cepat dari pada gerakan "naik" kembali. Setiap daur melibatkan unsur organisme untuk membantu menguraikan senyawa-senyawa menjadi unsur-unsur. Dalam daur belerang misalnya, mikroorganisme yang bertanggung jawab dalam setiap trasformasi adalah sebagai berikut :

• H2S → S → SO4; bakteri sulfur tak berwarna, hijau dan ungu.
• SO4 → H2S (reduksi sulfat anaerobik), bakteri desulfovibrio.
• H2S → SO4 (Pengokaidasi sulfide aerobik); bakteri thiobacilli.
• S organik → SO4 + H2S, masing-masing mikroorganisme heterotrofik
aerobik dan anaerobik.
Selain itu ada beberapa jenis bakteri terlibat dalam daur sulfur, antara lain Desulfomaculum dan Desulfibro yang akan mereduksi sulfat menjadi sulfida dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S). Kemudian H2S digunakan bakteri fotoautotrof aerob seperti Chromatium dan melepaskan sulfur dan oksigen. Sulfur dioksida menjadi sulfat oleh bakteri kemolitotrof seperti Thiobacillus.


MATERI DAN METODE
Materi

Materi yang digunakan pada saat pelaksanaan praktikum yaitu dengan membaca prosedur kerja yang ada di buku diktat, lalu kita akan tahu apa yang harus di lakukan dalam praktikum tersebut.

Metode

Metode yang digunakan pada saat praktikum lapangan yaitu dengan cara mengamati spesies yang ada pada lingkungan tersebut, lalu kita dapat mengestimasi atau memperkirakan makhluk hidup yang ada di lingkungan habitat tersebut. Estimasi yang di lakukan meliputi : Jumlah individu/ spesies , biomassa/M², dan juga biomassa/hektar.

Waktu dan tempat

Pelaksanaan praktikum ekologi Perairan di lakukan pada tanggal 5-6 November 2009, di Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah.


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil

3.1.1. Ekosistem Sungai Kejajar (1 hektar)
Produsen
Autotroph (Produsen)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah / Ha Biomassa/Ha
1 Alang-alang + 300 m2 2000kg / Ha
2 Pohon pakis + 6 Pohon 1500 kg / Ha
3 Pohon talas + 4 pohon 100 kg / Ha
4 Bambu pring gading + 3 Pohon 2000 kg / Ha
5 Pohon pisang + 5 pohon 3000 kg / Ha
6 Pohon salak + 3 pohon 1500 kg / Ha
7 Daun bawang + 20 pohon 500 kg / Ha
8 Putri malu + 3 pohon 200 kg / Ha
9 Rumput + 350m2 200 kg / Ha
10 Pohon pepaya + 4 pohon 2000 kg / Ha
11 Pohon brokoli + 25 pohon 1000 kg / Ha
12 Pohon petai cina + 5 pohon 500 kg / Ha
13 Lumut + 300 m2 1500 kg / Ha
Jumlah Biomassa Produsen 16000 kg / Ha

Konsumen I (Herbivora)
Phagotroph (Herbivora)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/
Biomassa/Ha
1 Burung + 30 ekor 200 gr 800 gr 8000 kg / Ha
2 Capung + 25 ekor 0.1 gr 20 gr 200 kg / Ha
3 Kupu-kupu + 10 ekor 0.02 gr 5 gr 50 kg / Ha
4 Belalang + 50 ekor 0.2 gr 100 gr 1000 kg / Ha
5 Serangga + 30 ekor 5 gr 150 gr 1500 kg / Ha
6 Semut _ 150 ekor 0.01 gr 150 gr 1500 kg / Ha
7 Udang + 5 ekor 0.8 gr 40 gr 4000 kg / Ha
8 kecebong + 2 ekor 0.01 gr 6 gr 60 kg / Ha
9 Kepik + 30 ekor 0,2 gr 60 gr 600 kg / Ha
10 Jangkrik _ 20 ekor 0.5 gr 10 gr 100 kg / Ha
11 Kumbang + 10 ekor 0.4 gr 40 gr 400 kg / Ha
12 Lalat + 30 ekor 0.3 gr 90 gr 900 kg / Ha
13 Tikus _ 40 ekor 60 gr 320 gr 3200 kg / Ha
14 Lintah _ 50 ekor 0.8 gr 40 gr 400 kg / Ha
15. Ulat _ 40 ekor 0,8 gr 32 gr 320 kg / Ha
Jumlah Biomassa Herbivora 22230 kg / Ha



















Konsumen II (Karnivora)
Phagotroph (Karnivora)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/
Biomassa/Ha
1 Ikan + 8 ekor 300 gr 800 gr 8000 kg / Ha
2 Tokek _ 3 ekor 100 gr 300 gr 3000 kg / Ha
3 Kodok + 5 ekor 100 gr 400 gr 4000 kg / Ha
4 Ular _ 2 ekor 100 gr 300 gr 3000 kg / Ha
5 Kadal + 9 ekor 70 gr 100 gr 1000 kg / Ha
6 Tikus _ 13 ekor 100 gr 500 gr 5000 kg / Ha
JUMLAH BIOMASA KARNIVORA 24000kg/ Ha






Pengurai
Saprotroph (Pengurai)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/
Biomassa/Ha
1. Cacing _ 20 ekor / m2 0,8 gr 50 gr 500 kg
Jumlah Biomassa Pengurai 500 kg

Piramida ekologi
1. Produsen = 16000 Kg/Ha (a)
2. Konsumen I = 22230 Kg/Ha (b)
3. Konsumen II = 24000 Kg/Ha (c)
4. Pengurai = 500 Kg/Ha (d)

JARING-JARING MAKANAN EKOSISTEM SUNGAI KEJAJAR


JARING – JARING MAKANAN SUNGAI KEJAJAR


































3.1.2. Ekosistem Sungai Somagede (1 hektar)
Produsen
Autotroph (Produsen)
No. Nama Terlihat (+)Tidak (-) Jumlah / Ha Biomassa/Ha
1 Alang-alang + 200 m2 2000kg / Ha
2 Pohon pakis + 4 pohon 2500 kg / Ha
3 Pohon talas + 4 pohon 500 kg / Ha
4 Pohon mahoni + 3 pohon 2000 kg / Ha
5 Pohon pisang + 4 pohon 3500 kg / Ha
6 Pohon kelapa + 3 pohon 15000 kg / Ha
7 Daun kecubung + 2 pohon 1500 kg / Ha
8 Sayur sawi + 3 pohon 1500 kg / Ha
9 Putri malu + 3 pohon 2000 kg / Ha
10 Rumput + 350m2 1000kg / Ha
11 Pohon pepaya + 2 pohon 3000 kg / Ha
12 Pohon petai + 2 pohon 3000 kg / Ha
13 Lumut + 300 m2 10000 kg / Ha
Jumlah Biomassa Produsen 38000 kg / Ha






















Konsumen I (Herbivora)
Phagotroph (Herbivora)
No. Nama Terlihat (+)Tidak (-) Jumlah Berat/ekor Berat/
Biomassa/Ha
1 Burung + 50 ekor/m2 0.5 gr 120 gr 1200 kg / Ha
2 Capung + 25 ekor/m2 0.2 gr 15 gr 150 kg / Ha
3 Kupu-kupu + 10 ekor/m2 0.2 gr 10 gr 100 kg / Ha
4 Belalang + 50 ekor/m2 0.3 gr 80 gr 800 kg / Ha
5 Serangga + 30 ekor/Ha 10 gr 500 gr 5000 kg / Ha
6 Semut + 150 ekor/m2 0.01 gr 1 gr / m2 10 kg / Ha
7 Udang + 5 ekor/m2 0.04 gr 400 gr / m2 4000 kg / Ha
8 kecebong + 2 ekor/m2 0.001 gr 6 g / m2 60 kg / Ha
9 Jangkrik _ 20 ekor/m2 0.2 gr 60 gr / m2 600 kg / Ha
10 Kumbang + 10 ekor/m2 0.4 gr 30 gr / m2 300 kg / Ha
11 Lalat _ 30 ekor/m2 0.1 gr 20 gr / m2 200 kg / Ha
12 Tikus _ 40 ekor/m2 0.01 gr 15 gr / m2 150 kg / Ha
13 Lintah + 50 ekor/m2 0.01 gr 15 gr / m2 150 kg / Ha
14 Ulat _ 40 ekor /
0,1 gr 10 gr 100 kg / Ha
Jumlah Biomassa Herbivora 12820 kg / Ha




Konsumen II (Karnivora)
Phagotroph (Karnivora)
No. Nama Jumlah Berat/ekor Berat/
Biomassa/Ha
1 Ikan 1ekor /
300 gr 300 gr 3000 kg
2 Tokek 1 ekor /
250 gr 250 gr 2500 kg
3 Kodok 3 ekor /
100 gr 300 gr 3000 kg
4 Ular 2 ekor /
500 gr 250 gr 2500 kg
5 Kadal 10 ekor /
10 gr 100 gr 1000 kg
6 tikus 15 ekor /
30 gr 450 gr 4500 gr
JUMLAH BIOMASA KARNIVORA 16000


Pengurai
Saprotroph (Pengurai)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/
Biomassa/Ha
1. Cacing - 20 ekor / m2 0,3 30 gr 300 kg
Jumlah Biomassa Pengurai 300 kg

Piramida ekologi
5. Produsen = 38000 Kg/Ha (a)
6. Konsumen I = 12820 Kg/Ha (b)
7. Konsumen II = 16000 Kg/Ha (c)
8. Pengurai = 300 Kg/Ha (d)




JARING-JARING MAKANAN SUNGAI SOMAGEDE

















































3.1.3. EKOSISTEM TELAGA PENGILON

Produsen
Autotroph (Produsen)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak (-) Jumlah / Ha Biomassa/Ha Guild

1 Pohon cemara + 80 pohon 10000 kg / Ha
2 Pohon mendung + 8 pohon 5000 kg / Ha
3 Lumut + 700 m2 30000 kg / Ha
4 Pohon puspa + 5 pohon 3000 kg / Ha
5 Pohon gondok + 4 pohon 2500 kg / Ha
6 Pohon terompet + 10 pohon 4000 kg / Ha
7 Pohon paku + 5 pohon 3000 kg / Ha
8 Pohon petai cina + 3 pohon 2000 kg / Ha
9 Pohon jambu + 3 pohon 2000 kg / Ha
10 Pohon lampesa + 5 pohon 5000 kg / Ha
11 Pohon putri malu + 2 pohon 1500 kg / Ha
12 Pohon pepaya - 3 pohon 2000 kg / Ha
13 Pohon aster - 2 pohon 1500 kg / Ha
14 Rumput + 450 m2 24000 kg / Ha
15 Lumut di air + 350 m2 20000 kg / Ha
16 Alang-alang + 150 m2 18000 kg / Ha
17 Sedap malam + 5 pohon 3000 kg / Ha
18 Bambu - 400 m2 23000 kg / Ha
19 Mahoni - 3 pohon 6500 kg / Ha
JUMLAH BIOMASSA PRODUSEN 166000 kg / Ha















Konsumen I (Herbivora)
Phagotroph (Herbivora)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak (-) Jumlah Berat/ekor Berat/
Biomassa/Ha
1 Gastropoda + 50 ekor/m2 0.5 gr 120 gr 1200 kg / Ha
2 Capung _ 25 ekor/m2 0.2 gr 15 gr 150 kg / Ha
3 Kupu-kupu _ 10 ekor/m2 0.2 gr 10 gr 100 kg / Ha
4 Belalang _ 50 ekor/m2 0.3 gr 80 gr 800 kg / Ha
5 Burung _ 30 ekor/Ha 10 gr 500 gr 5000 kg / Ha
6 Semut _ 150 ekor/m2 0.01 gr 1 gr / m2 10 kg / Ha
7 Nyamuk + 5 ekor/m2 0.04 gr 400 gr / m2 4000 kg / Ha
8 Serangga + 2 ekor/m2 0.001 gr 6 g / m2 60 kg / Ha
9 Kepik + 30 ekor/Ha 50 gr 250 gr / m2 2500 kg / Ha
10 Jangkrik _ 20 ekor/m2 0.2 gr 60 gr / m2 600 kg / Ha
11 Kumbang _ 10 ekor/m2 0.4 gr 30 gr / m2 300 kg / Ha
12 Lalat _ 30 ekor/m2 0.1 gr 20 gr / m2 200 kg / Ha
13 Kecebong + 40 ekor/m2 0.01 gr 15 gr / m2 150 kg / Ha
14 Lintah _ 50 ekor/m2 0.01 gr 15 gr / m2 150 kg / Ha
Jumlah Biomassa Herbivora 15220 kg / Ha


Konsumen II (Karnivora)
Phagotroph (Karnivora)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak (-) Jumlah Berat/ekor Berat/
Biomassa/Ha
1 Ikan lele + 1ekor /
300 gr 300 gr 3000 kg
2 Musang _ 1 ekor /
250 gr 250 gr 2500 kg
3 Kodok + 3 ekor /
100 gr 300 gr 3000 kg
4 Ular _ 2 ekor /
500 gr 500 gr 2500 kg
5 Kadal _ 10 ekor /
100 gr 100 gr 1000 kg
6 Monyet + 5 ekor /
3000 gr 3000 gr 30000 kg
7 Laba-laba + 20 ekor /
50 gr 50 gr 500 kg
8 Tikus _ 15 ekor /
300 gr 300 gr 3000 kg
Jumlah Biomassa KARNIVORA 45500 kg


Pengurai
Saprotroph (Pengurai)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/
Biomassa/Ha
1 Ulat _ 40 ekor /
0,1 gr 10 gr 100 kg
2 Cacing _ 20 ekor / m2 0,3 30 gr 300 kg
Jumlah Biomassa Pengurai 400 kg

Piramida ekologi
1. Produsen = 94250 Kg/Ha (a)
2. Konsumen I = 15220 Kg/Ha (b)
3. Konsumen II = 45500 Kg/Ha (c)
4. Pengurai = 400 Kg/Ha (d)





JARING-JARING MAKANAN TELAGA PENGILON
































3.1.4. EKOSISTEM HUTAN HOMOGEN (Transek 1 m x 1 m)


Produsen
Autotroph (Produsen)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Biomassa
1. Rumput + 0.1 kg
2. Bayem belanda + 0.03 kg
3. Rumput jepang + 0.05 kg
4. Sawi + 0.02 kg
5 edelwis + 0.04 kg
6 Bawang + 0.06 kg
7 Bunga putri malu + 0.2 kg
JUMLAH BIOMASSA 0.5 kg

Konsumen I (Herbivora)
Phagotroph (Herbivora)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/

1 Semut + 50 ekor/m2 0.001 kg 0.05 kg
2 Nyamuk _ 25 ekor/m2 0.002 kg 0.05 kg
3 Jangkrik _ 10 ekor/m2 0.002 kg 0.02 kg
4 Serangga tanah + 50 ekor/m2 0.001 kg 0.05 kg
5 Kepik + 15 0.002 kg 0.03 kg
6 Kupu-kupu + 10 0.004 kg 0.05 kg
BIOMASSA HERBIVORA 0.25 kg







Konsumen II (Karnivora)

Phagotroph (Karnivora)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/

1. Kodok + 1 ekor/m2 0.05 kg 0.05 kg
2
Laba-laba
+ 3 ekor/m2
0.01 kg
0.01 kg

3
Ular
_ 1 ekor/m2
1 kg
1 kg

BIOMASSA KARNIVORA 1.06 kg




Pengurai
Saprotroph (Pengurai)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/

1. Cacing _ 2 ekor 0,001 kg 0.002 kg
Jumlah Biomassa Pengurai 0.002 kg


Piramida ekologi
5. Produsen = 0.5 Kg/Ha (A)
6. Konsumen I = 0.25 Kg/Ha (B)
7. Konsumen II = 1.06 Kg/Ha (C)
8. Pengurai = 0.002 Kg/Ha (D)


(D)

(C)

(B)

(A)










3.1.5. Ekosistem Hutan Homogen (Transek 5 m x 5 m)
Produsen
Autotroph (Produsen)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Biomassa
1. Pohon cemara + 3 pohon 580 kg
2 Rumput + 2 Pohon 69 kg
3 Ilalang + 4 Pohon 98 kg
4 Semak + 5 Pohon 288 kg
Jumlah Biomassa Produsen 1035 kg






Konsumen I (Herbivora)
Phagotroph (Herbivora)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/

1 Semut _ 8000 ekor/m2 0.002 kg 7 kg
2 Nyamuk _ 5000 ekor/m2 0.001 kg 5 kg
3 Jangkrik _ 4500 ekor/m2 0.003 kg 6 kg
4 Serangga tanah + 9000 ekor/m2 0.002 kg 9 kg
5. Burung Walet + 100 ekor/m2 0.50 kg 13 kg
6. Ulat _ 10000 ekor/m2 0.003 kg 10 kg
7. Belalang + 7000 ekor/m2 0.003 kg 8 kg
Jumlah Biomassa Herbivora 58 kg






Konsumen II (Karnivora)
Phagotroph (Karnivora)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/

1. Katak _ 50 ekor/m2 0.05 kg 2.5 kg
2. Kadal + 70 ekor/m2 0.05 kg 3.5 kg
3. Ular _ 10 ekor/m2 1 kg 10 kg
Jumlah Biomassa Karnivora 16 kg



Pengurai
Saprotroph (Pengurai)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/

1. Cacing _ 500 ekor /
0,001 kg 0.5 kg
Jumlah Biomassa Pengurai 0.5 Kg







Piramida ekologi
Produsen = 1035 Kg/Ha (A)
Konsumen I = 58 Kg/Ha (B)
Konsumen II = 16 Kg/Ha (C)
Pengurai = 0.5 Kg/Ha (D)


(D)

(C)

(B)

(A)


Tumbuhan → Belalang → Katak → Ular → (JIKA SUDAH MATI) cacing
↓ ↓
Jangkrik → Kadal → Ular

Tumbuhan → nyamuk→ Katak → Ular → (JIKA SUDAH MATI) cacing


3.1.6. Ekosistem Hutan Heterogen (Transek 6 m x 6 m)
Produsen
Autotroph (Produsen)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Biomassa
1. Rumput 15 5 kg
2. Cikrak-cikrik 20 6 kg
3. Romput jepang 10 4 kg
4. Rumput gajah 15 9kg
Jumlah Biomassa Produsen 24 kg

Konsumen I (Herbivora)
Phagotroph (Herbivora)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/

1 Semut 500 ekor/m2 0.001 kg 0.5 kg
2 Nyamuk 250 ekor/m2 0.002 kg 0.5 kg
3 Jangkrik 100 ekor/m2 0.025 kg 2.5 kg
4 Serangga tanah 500 ekor/m2 0.001 kg 0.5 kg
Jumlah Biomassa Herbivora 4 kg




Konsumen II (Karnivora)
Phagotroph (Karnivora)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/

1. Katak 1 ekor/m2 0.05 kg 0.05 kg
Jumlah Biomassa Karnivora 0.05 kg







Pengurai
Saprotroph (Pengurai)
No. Nama Terlihat (+)
Tidak(-) Jumlah Berat/ekor Berat/

1. Cacing 2 ekor /
0,001 kg 0.2 kg

Piramida ekologi
Produsen = 24 Kg/Ha (A)
Konsumen I = 4 Kg/Ha (B)
Konsumen II = 0.05 Kg/Ha (C)
Pengurai = 0.2 Kg/Ha (D)


(D)

(C)

(B)

(A)



Tumbuhan → jangkrik → katak → (JIKA SUDAH MATI) cacing

Semut → katak

Tumbuhan → serangga tanah → katak → (JIKA SUDAH MATI) cacing

nyamuk → katak



1. Pembahasan

Ekosistem bukan hanya mencakup kelompok dasarnya tetapi juga seluruh kelompok factor lingkungan. Konsep ekosistem itu sekarang sudah diterima secara luas dan terutama ekologi telah menjadi bidang kajian struktur da fungsi berbagai ekosistem yaitu suatu system tertutup tetapi terbuka dan dari padanya aliran energi dan zat terus-mnerus keluar dan digantikan agar system itu dapat terus berjalan.
Ekosistem secara khas mempunyai tiga komponen biologi yaitu produsen (jasad autrotof) atau tumbuhanhijau yang mampu menghambat ebergi cahaya,hewan (jasad heterotof) atau konsumen makro yang menggunakan bahan organik dan suatu organisme hidup akan selalu membutuhkan organisme lain dan lingkungan hidupnya. Hubungan yang terjadi antara individu dengan lingkungannya sangat kompleks, bersifat saling mempengaruhi atau timbal balik. Hubungan timbal balik antara unsur-unsur hayati dengan nonhayati membentuk sistem ekologi yang disebut ekosistem. Di dalam ekosistem terjadi rantai makanan, aliran energi, dan siklus biogeokimia.
Rantai makanan adalah pengalihan energi dari sumbernya dalam tumbuhan melalui sederetan organisme yang makan dan yang dimakan.
Para ilmuwan ekologi mengenal tiga macam rantai pokok, yaitu rantai pemangsa, rantai parasit, dan rantai saprofit.
1. Rantai Pemangsa
Rantai pemangsa landasan utamanya adalah tumbuhan hijau sebagai produsen. Rantai pemangsa dimulai dari hewan yang bersifat herbivora sebagai konsumen I, dilanjutkan dengan hewan karnivora yang memangsa herbivora sebagai konsumen ke-2 dan berakhir pada hewan pemangsa karnivora maupun herbivora sebagai konsumen ke-3.
2. Rantai Parasit
Rantai parasit dimulai dari organisme besar hingga organisme yang hidup sebagai parasit. Contoh organisme parasit antara lain cacing, bakteri, dan benalu.
3. Rantai Saprofit
Rantai saprofit dimulai dari organisme mati ke jasad pengurai. Misalnya jamur dan bakteri. Rantai-rantai di atas tidak berdiri sendiri tapi saling berkaitan satu dengan lainnya sehingga membentuk faring-faring makanan.
4. Rantai Makanan dan Tingkat Trofik
Salah satu cara suatu komunitas berinteraksi adalah dengan peristiwa makan dan dimakan, sehingga terjadi pemindahan energi, elemen kimia, dan komponen lain dari satu bentuk ke bentuk lain di sepanjang rantai makanan.
Organisme dalam kelompok ekologis yang terlibat dalam rantai makanan digolongkan dalam tingkat-tingkat trofik. Tingkat trofik tersusun dari seluruh organisme pada rantai makanan yang bernomor sama dalam tingkat memakan. Sumber asal energi adalah matahari. Tumbuhan yang menghasilkan gula lewat proses fotosintesis hanya memakai energi matahari dan C02 dari udara. Oleh karena itu, tumbuhan tersebut digolongkan dalam tingkat trofik pertama. Hewan herbivora atau organisme yang memakan tumbuhan termasuk anggota tingkat trofik kedua. Karnivora yang secara langsung memakan herbivora termasuk tingkat trofik ketiga, sedangkan karnivora yang memakan karnivora di tingkat trofik tiga termasuk dalam anggota iingkat trofik keempat.
5. Piramida Ekologi
Struktur trofik pada ekosistem dapat disajikan dalam bentuk piramida ekologi. Ada 3 jenis piramida ekologi, yaitu piramida jumlah, piramida biomassa, dan piramida energi.
a. Piramida jumlah
Organisme dengan tingkat trofik masing - masing dapat disajikan dalam piramida jumlah, seperti kita Organisme di tingkat trofik pertama biasanya paling melimpah, sedangkan organisme di tingkat trofik kedua, ketiga, dan selanjutnya makin berkurang. Dapat dikatakan bahwa pada kebanyakan komunitas normal, jumlah tumbuhan selalu lebih banyak daripada organisme herbivora. Demikian pula jumlah herbivora selalu lebih banyak daripada jumlah karnivora tingkat 1. Kamivora tingkat 1 juga selalu lebih banyak daripada karnivora tingkat 2. Piramida jumlah ini di dasarkan atas jumlah organisme di tiap tingkat trofik.
b. Piramida biomassa
Seringkali piramida jumlah yang sederhana kurang membantu dalam memperagakan aliran energi dalam ekosistem. Penggambaran yang lebih realistik dapat disajikan dengan piramida biomassa. Biomassa adalah ukuran berat materi hidup di waktu tertentu. Untuk mengukur biomassa di tiap tingkat trofik maka rata-rata berat organisme di tiap tingkat harus diukur kemudian barulah jumlah organisme di tiap tingkat diperkirakan.
Piramida biomassa berfungsi menggambarkan perpaduan massa seluruh organisme di habitat tertentu, dan diukur dalam gram.
Untuk menghindari kerusakan habitat maka biasanya hanya diambil sedikit sampel dan diukur, kemudian total seluruh biomassa dihitung. Dengan pengukuran seperti ini akan didapat informasi yang lebih akurat tentang apa yang terjadi pada ekosistem.
c. Piramida energi
Seringkali piramida biomassa tidak selalu memberi informasi yang kita butuhkan tentang ekosistem tertentu. Lain dengan Piramida energi yang dibuat berdasarkan observasi yang dilakukan dalam waktu yang lama. Piramida energi mampu memberikan gambaran paling akurat tentang aliran energi dalam ekosistem.
Pada piramida energi terjadi penurunan sejumlah energi berturut-turut yang tersedia di tiap tingkat trofik. Berkurang-nya energi yang terjadi di setiap trofik terjadi karena hal-hal berikut.
• Hanya sejumlah makanan tertentu yang ditangkap dan
dimakan oleh tingkat trofik selanjutnya.
• Beberapa makanan yang dimakan tidak bisa dicemakan dan
dikeluarkan sebagai sampah.
• Hanya sebagian makanan yang dicerna menjadi bagian dari
tubuh organisms, sedangkan sisanya digunakan sebagai
sumber energi.

POLA LONGITUDINAL EKOSISTEM SUNGAI

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
. Ekosistem adalah kumpulan dari komunitas beserta faktor biotik (tumbuhan, hewan dan manusia) dan abiotik (suhu, iklim, senyawa-senyawa organik dan anorganik). Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH) tahun 1982 ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan tingkat yang lebih tinggi dari komunitas atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya di mana terjadi hubungan antar keduanya (Irwan, 1992).
Ekosistem sungai merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu unit fungsional. Komponen-komponen ini secara fungsional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari komponen-komponen tersebut (misalnya perubahan nilai parameter fisika-kimia perairan), maka akan menyebabkan perubahan pada komponen lainnya (misalnya perubahan kualitatif dan kuantitatif organismenya). Perubahan ini tentunya dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya.
Sungai merupakan perairan yang mengalir (lotik), oleh karena itu sungai memiliki arus yang berbeda-beda di setiap tempatnya. Dan di setiap aliran memilki organisme yang berbeda pula. Zonasi pada habitat air mengalir adalah mengarah ke longitudinal, yang menunjukkan bahwa tingkat yang lebih atas berada di bagian hulu dan kemudian mengarah ke hilir.

1.2 Tujuan
Praktikum ekologi perairan, Pola Longitudinal Ekosistem Sungai ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Bagaimana pola perubahan dari faktor-faktor fisikokimia sepanjang dearah aliran sungai Serayu
2. Pengaruhnya terhadap biota perairan yang terdapat didalamnya.














II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Sungai
Sungai serayu pada beberapa segmennya mengalir melewati daerah pedesaan digunakan penduduk sekitar untuk aktifitas kehidupan. Sehari-hari seppeti untuk prasarana MCK, dan pembuangan limbah.Gangguan antropogenik disebabkan aktifitas penduduk dan gejala alam seperti musim, kondisi lingkungan dapat mengalami gradasi dari hulu sampai hilir. Gradasi atau tingkat perbedaan terhadap kualitas lingkungan perairan berupa perubahan kecepatan arus, kekeruhan, suhu, substrat dasar, kimia air, biologi.
Peristiwa ini dapat mengakibatkan terjadinya distribusi secara longitudinal. Perubahan lingkungan di sepanjang sungai berpengaruh terhadap organisme sungai (Hawkes, 1978).Salah satu faktor yanng mempengaruhi kondisi faktor fisikokimia adalah tempat hidup organisme dalam suatu ekosistem (Krehs, 1978).
2.2 Ekosistem
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen- komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik (produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi.. Berdasarkan pustaka lain, telaga adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu telaga ke telaga yang lain serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi (Ruttner, 1977 dalam Satari, 2001).


2.3 Sungai
Sungai adalah perairan umum yang airnya mengalir terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air permukaan yang diakhiri bermuara ke laut. Sungai sebagai perairan umum yang berlokasi di darat dan merupakan suatu ekosistem terbuka yang berhubungan erat dengan sistem-sistem terestrial dan lentik. Ciri-ciri umum daerah aliran sungai adalah semakin ke hulu daerahnya pada umumnya mempunyai tofograpi makin bergelombang sampai bergunung-gunung. Sungai adalah lingkungan alam yang banyak dihuni oleh organisme (Odum, 1996).
Zonasi pada habitat air mengalir adalah mengarah ke longitudinal, yang menunjukkan bahwa tingkat yang lebih atas berada di bagian hulu dan kemudian mengarah ke hilir. Menurut Soemarwoto (1980), Pada habitat air mengalir ini, perubahan-perubahan yang terjadi akan lebih nampak pada bagian atas dari aliran air karena adanya kemiringan, volume air atau komposisi kimia yang berubah. Menurut Soemarwoto (1980), secara umum zonasi habitat air mengalir, yaitu:
Arus mempunyai arti penting untuk pergerakan ikan. Arus yang searah dari hulu sangat penting untuk pergerakan ikan atau bahkan menyebabkakn ikan-ikan bergerak aktif melawann arus, kea rah muara pergerakan ikan dapat berlangsung dengan pasif maupun mengapung (Wotton, 1992), Sungai merupakan salah satu perairan darat yang mengalir. Berdaasrkan letak dan kondisi lingkungannya dibagi menjadi tiga bagian :
• Hulu sungai, terletak di daerah yang dataran tinggi, menglir melalui bagian yang curam, dangkal, berbatu, arus deras, volume air kecil, kandungan oksigen telarut tinggi, suhu yang rendah, dan warna air jernih.
• Hilir sungai, terletak didaratan yang rendah, dengan arus yang tidak begitu kuat dan volume air yang besar, kecepatan fotosintesis yang tinggi dan banyak bertumpuk pupuk organic
• Muara sungai letaknya hamper mencapai laut atau pertemuan sungai-sungai lain, arus air sangat lambat dengan volume yang lebih besar, banyak mengandung bahan terlarut, Lumpur dari hilir membentik delta dan warna air sangat keruh .
.Menurut aliran air :
a. Zona air cepat
Ciri : terdapat pada bagian yang dangkal dengan arus yang kuat sehingga mencegah terjadinya akumulasi lumpur dan partikel lainnya.
b. Zona air lambat
Ciri : terdapat pada bagian yang lebih dalam dengan arus yang lemah sehingga lumpur dan partikel lainnya dapat mengendap.
2.4 Kualitas Air
Kualitas air secara umum adalah keadaan atau kondisi serta mutu dari air tersebut, apakah kualitasnya baik atau buruk. Tingkat kualitas dari air dapat diperoleh bukan hanya dengan melihat air dari luarnya, seperti kecerahan air, substrat dasar tetapi juga harus melihat dengan melihat unsur-unsur yang dikandungnya seperti pH, dan koduktivitas dari air tersebut (safitrirayuni.blogspot.com).
2.5 Faktor fisikokimia
Faktor yang menentukan distribusi dari biota air adalah sifat fisik-kimmia perairan. Organisme yang dapat disesuaikan denagn kondisi sifat fisik-kimia yang akan mampu hidup (Krebs ,1978). Penyebaran jenis dan hewan akkuatik ditentukan oleh kualitas lingkungan yang ada seperti sifat fisika, kimia, biologisnya(Odum, 1971). Whitton (1975) menambahkan bahwa kehidupan ikan disuatu perairan dipengaruhi oleh volume air mengalir, kecepatan arus, temperatur, pH dan konsentrasi oksigen terlarut. Faktor yang membedakan kondisi fisikokimia dari setiap bagian sungai terdiri dari:
2.5.1 Suhu
Suhu adalah salah satu faktor yang penting dalam suatu perairan untuk mengukur temperatuh lingkkungan tersebut. Suhu merupakan salah satu faktoryang penting dalam suatu perairan karena suhu merupakan faktor pembatas bagi ekosistem perairan dan akan membatasi kehidupan organisme akuatik (Oudum, 1971). Menurut Sucipto dan Eko (2005) menyatakan bahwa suhu mematikan (lethal) hampir untuk semua spesies ikan bekisar 10-11ºC selama beberapa hari. Menurut Barus (2002), kisaran suhu air yang baik dalam perairan dan kehidupan ikan yaitu berkisar antara 23-32ºC.
2.2.2 Substrat
Tanah merupakan tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda menyebabkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan.
2.2.3 Kecepatan Arus
Arus merupakan faktor pembatas yang mempunyai peranan sangat penting dalam perairan, baik pada ekosistem mengalir (lotic) maupun ekosistem menggenang (lentic). Hal ini disebabkan karena adanya arus akan mempengaruhi distribusi organisme, gas-gas terlarut, dan mineral yang terdapat di dalam air (Barus, 2002).
Semakin tinggi kecepatan arus, kandungan oksigen terlarut dalam air yang sangat dibutuhkan oleh biota air dalam metabolismenya akan semakin banyak. Kecepatan arus berkurang seiring dengan penambahan kedalaman suatu perairan. (Siregar, 2004) mengklasifikasikan kecepatan arus sebagai berikut :
Tabel klasifikasi kecepatan arus di perairan
No. Kecepatan arus Kategori
1 <10 cm/det Sangat lambat
2 10-24 cm/det Lambat
3 25-50 cm/det Sedang
4 51-100 cm/det Kuat
5 >100 cm/det Sangat kuat

2.5.4 Lebar sungai
Semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula jumlah biota yang menempatinya (Kottelat et al, 1996).Keanekaragaman dan kelimpahan biota juga ditentukan oleh karakteristik habitat perairan.
2.4.5 Kekeruhan
Kekeruhan akan mempengaruhi jumlah cahaya matahari yang masuk kedalam suatu perairan. Air yang keruh antara lain disebabkan oleh partikel tanah, daya ikatnya terhadap pksigen akan berkurang dan mungkin mengurangi batas pandang ikan (Soetomo, 2000) . Sehingga selera makan ikan dan efesien penggunaan makanan berkurang. Menurut Wardoyo (1994) tingkat kekeruhan air yang baik untuk pemeliharaan ikan yaitu <50 NTU.
Kekeruhan dipengaruhi oleh bahan – bahan tersuspensi seperti lumpur, pasir, bahan organic, dan bahan anorganik, plankton serta organisme mikroskopik lainnya (Hariyadi, 1992 dalam Kristina, 2001).
2.5.6 Kedalam Sungai
Pada sungai dapat dijumpai tingkat yang lebih tua dari hulu ke hilir,perubahan lebih terlihat pada bagian atas aliran air, dan komposisi kimia berubah dengan cepat. Dan komposisi komunitas berubah sewajarnya yang lebih jelas pada kilometer pertama disbanding lima puluh (50) kilometer terakhir.(Odum. 1988).

2.5.7 Derajat Keasaman (pH)
Derajat krasaman (pH) merupakan suatu indeks konsentrasi ion hidrogen dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan organisme perairan, sehingga dapat dipergunakan sebagai petunjuk baik buruknya suatu perairan sebagai lingkungan hidup (Siregar,et al., 2002). Derajat keasaman berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan hewan dan tumbuhan air serta mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia (Effendi, 2003). Nilai pH dapat dipengaruhi anatara lain buangan industri dan rumah tangga (Mahidda, 1984). Derajat krasaman (pH) berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas, semakin tinggi pH, semakin tinggi alkalinitas dan semakin rendah kadar kandungan dioksida bebas (Mackereth et al, 1989). pH merupakan tingkat derajat keasaman yang dimiliki setiap unsur, pH juga berpengaruh terhadap setiap organisme, karena setiap organisme atau indivudu memiliki ketentuan pada derajat keasaman (pH) berapa mereka dapat hidup.
Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi serta dapat meningkatkan konsentrasi ammonia yang bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2002). (Pescod, 1973 dalam Kristina, 2001) menyatakan pada pH antara 4-6,5 dan pH 8,5-11 pertumbuhan ikan akan lambat sehingga reproduksi terhambat.
2.5.8 Salinitas
Salinitas adalah nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil (‰) (Barus, 2002). salinitas memiliki pengaruh terhadap tekanan osmotik air. Perubahan salinitas secara cepat umumnya menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Salinitas air dipengaruhi oleh pencampuran air laut dan tawar, curah hujan dan evaporasi(Tseng,1987)
2.5.9 Kecerahan
Kecerahan adalah besarnya intensitas cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan tersuspensi seperti lumpur, pasir, bahan organik dan mikroorganisme termasuk plankton (NTAC, 1968). Semakin tinggi tingkat kecerahan suatu perairan, maka semakin tinggi pula kecerahan yang masuk ke dalam air, sehingga lapisan air yang produktif akan menjadi lebih stabil (Kembarawati, 2000).
2.5.10 Vegetasi riparian
Tanaman tepi atau reparians vegetation di tebing aliran sungai tersebut sebagai penghubung ekosistem air dan ekosistem darat. Tanaman tepi juga merupakan sebagai proses fotosintesis antara cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Menurut Sary (2006) Fotosintesis adalah salah satu aktivitas biologi yang sangan penting di perairan. Menurut Asdak (2007) daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi bukan daerah banjir dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh sbb:merupakan daerah pemanfaatan pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, dan jenis vegetasi di dominasi tanaman pertanian.Area yang lebih luas memiliki variasi habitat yang lebih besar dibandingkan dengan area yang lebih sempit (Wooton 1991). Distribusi atau penyebaran ikan dapat dilihat dari 3 sisi, yaitu geologis, geografis dan ekologis.
Distribusi geologis adalah penyebaran suatu spesies yang berhubungan dengan waktu atau jaman periode umur bumi ketika spesies itu terdapat. Distribusi geografis (longitudinal) adalah penyebaran suatu spesies ikan berdasarkan tempat ditemukan. Sedangkan distribusi ekologis adalah penyebaran suatu jenis ikan yang erat kaitannya dengan faktor lingkungan.
















III. MATERI DAN METODE

3.1 Materi
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah termometer, kertas pH, botol mineral, tali rafia, keping sechii, konduktivitimeter, tabel Barbour dan Stribling.
3.1.2 Bahan
Sumber perairan

3.2 Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini dilakukan dengan metode pengukuran faktor fisikokimia air dari hulu sampai dengan hilir sepanjang sungai Serayu. Parameter yang akan di ukur yaitu kecerahan, pH, suhu, kecepatan arus, konduktivitas, kedalaman, substrat dasar, skor fisik habitat dan riparian vegetation.
3.2.1 Pengukuran Kecerahan
Keping sechii dimasukan ke dalam air. Diukur kedalaman sampai batas antara hitam dan putih tidak dapat di bedakan. Jika dasar sungai masih dapat di bedakan catat kedalaman sampai dasar tersebut.
3.2.2 Pengukuran Derajat Keasaman (pH)
Dicelupkan kertas pH ke dalam air, perubahan warna yang terjadi pada kertas lakmus kemudian disamakan dengan warna skala pH yang tercantum.
3.2.3 Pengukuran Suhu
Pengukuran temperatur (suhu) dilakukan dengan cara mencelupkan termometer pada perairan, tunggu sampai beberapa menit sampai pengukuran pada termometer stabil dan tidak berubah-ubah, pengukuran ini dilakukan di 3 titik.
3.2.4 Pengukuran Kecepatan Arus
Pengukuran kecepatan arus menggunakan metode apung. Botol yang berisi air setengah atau sepertiga dari ukuran botol kemudian di ikat dengan tali rafia sepanjang 10 meter. Setelah diikat botol tersebut dilemparkan ke sungai. Catat waktu yang dibutuhkan botol tersebut untuk hanyut dibawa oleh arus sungai sejauh 10 meter.
3.2.5 Pengukuran Konduktivitas
Konduktivitas diukur dengan menggunakan alat konduktivitimeter dengan cara mencelupkan sensor konduktivitimeter kedalam air sungai. Kemudian hasil yang diperoleh dicatat.
3.2.6 Pengukuran Kedalaman
Dilakukan pengukuran pada tiap 2 meter lebar sungai dengan tongkat penduga yang telah diberi skala panjang.
3.2.7 Lebar Sungai
Dalam menentukan lebar dari sungai yang diamati digunakan estimasi (pendugaan) secara visual.
3.2.8 Pengamatan Substrat Dasar
Substrat di estimasi menggunakan tabel Barbaur dan stribing, dan dilakukan perhitungan skor fisik habitat setiap stasiun pengamatan. Diestimasi secara visual persentasi bagian dasar sungai yang tertutup lumpur, pasir, kerikil, batu.
3.2.9 Pengamatan Skor Fisik Habitat
Substrat di estimasi menggunakan tabel Barbaor dan stribling, dan dilakukan perhitungan skor fisik habitat setiap stasiun pengamatan.
Tabel. 1. Kriteria penilaian kondisi fisik habitat menurut Barbour dan Stribling (1991)

Habitat parameter Optimal Suboptimal Marginal Poor
Substrat dasar Lebih dari 60% dasara perairan terdiri atas kerikil, batu atau cadas dengan porsi yang kurang lebih sama. SKOR 20 30%-60% dari substrat dasar penilaian berupa batuan atau cadas. Substrat mungkin didominasi oleh salah satu kelas ukuran tersebut.
SKOR 15 10%-30% merupakan satu materi yang besar tetapi lumpur atau pasir 70-90% mendominasi substrat dasar.
SKOR 10 Substrat didominasi oleh lumpur dan pasir kerikil dan pasir dan materi yang lebih besar.
SKOR 5
Kekomplekan habitat Berbagai macam tipe kayu pohon, cabang, tumbuhan akuatik terdapat pada segmen sungai membentuk habitat yang bervariasi. Segmen sungai tertutup kanopi.
SKOR 20 Substrat cukup bervariasi. Segmen sungai cukup terlindungi oleh kanopi.
SKOR 15 Habitat didominasi oleh 1 atau 2 macam komponen substrat, tumbuhan tepi yang menaungi segmen sungai sedikit.
SKOR 10 Habitat monoton pasir dan lumpur menyebabkan habitat tidak bervariasi.
SKOR 5
Kualitas yang menggenang 25% dari bagian yang menggenang sama atau lebih lebar dari setengah lebar sungai dan kedalamannya >1 m.
SKOR 20 <5% bagian yang menggenang kedalamannya >1 m dan lebih lebih lebar dari ½ lebar sungai. Umumnya bagian yang dalam ini lebih kecil dari setengah lebar sungai dan kedalamannya >1m.
SKOR 15 Kurang dari 1% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih dari lebar sungai. Bagian yang menggenang ini mungkin sangat dalam/dangkal.Habitat tidak bervariasi.
SKOR 10 Bagian yang menggenang kecil dan dangkal bahkan mungkin tidak terdapat bagian yang menggenang.
SKOR 5
Kestabilan tepi sungai Tidak terdapat bukti-bukti bahwa tempat tersebut pernah terjadi erosi atau berpotensi untuk erosi.
SKOR 20 Jarang terjadi bagian tepi yang gugur, kemungkinan gugur ada tetapi rendah.
SKOR 15 Bagian tepi ada yang mengalami erosi saat banjir.
SKOR 10 Bagian tepi sungai tidak stabil, sering terjadi erosi.
SKOR 5



3.2.10 Pengamatan Riparian Vegetation
Diestimasi secara visual bagian tepi sungai, dan dicatat riparian vegetation apa saja yang ada di tepi sungai.
3.3 Waktu dan Tempat
Praktikum Ekologi Perairan dilaksanakan pada tanggal 5-6 November 2009 di sepanjang daerah aliran sungai. (DAS) Serayu dari hulu ke hilir dan daerah yang diteliti terdiri dari daerah Kejajar, Garung, Sigaluh, Purwanegara, Mrican, Mandiraja, Kembangan, Somagede.















IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter yang diukur Stasiun pengambilan
Kejajar Garung Prigi (sigaluh) Purwanegara Mrican Mandiraja Kembangan Somagede
Elevansi (m) 1332 1341 361 125 149 90.7 47.7 43.7
Lintang (0) 7-15-778 7-15-716 7-24-180 7-25-742 7-24-040 7-26-781 7-27-452 7-30-758
Bujur (0) 109-56-891 109-57-008 109-46-799 109-33-476 109-35-826 109-31-389 109-25-941 109-20-255
Lebar (m) 18 9 35,2 14 47 24 53 50
Kedalaman (cm) 55 20 120 60 123 56.6 62 800
Kecerahan (cm) 30 20 34 17.5 5.5 41.6 62 7.5
Kec. Arus (m/s) 0.29 0.31 0.66 0.367 0.134 0.346 0.82 2.86
Suhu (c) 20.1 23.1 28 28.4 28 28 28 27
konduktivitas 200.2 340.2 243 243.7 110.5 248.3 265.1 182.9
Salinitas 0.1 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
C 7 7 7 8 9 7 7 7
Vegetasi riparian (%) 60 50 50 45 55 60 50 80
Sekor habitat 70 65 80 60 60 65 50
Tipe substrat Batuan Batuan Batuan Batuan Batuan Batuan Krikil Lumpur pasir
4.1 Hasil

4.2 Pembahasan
Sungai serayu terletak di Jawa Tengah yang berasal dari mata air Dataran Tinggi Dieng Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Sungai serayu mengalir melalui 5 kabupaten, yaitu kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, hingga Cilacap. Dengan panjang ± 78,5 km, lebar ± 30 m dengan bagian terdalam dapat mencapai 10 m dan melewati 10 kecamatan Sigaluh, Madukara, Banjarnegara, Bawang, Wandadi, Purwonegoro, Rakit, Mandiraja, Klampok dan Susukan (BAPPENDA, 2003). Oleh masyarakat dimanfaatkan untuk keperluan irigasi, domestic, pertanian, dan perikanan.
4.2.1 Elevansi

Hasil pengamatan elevansi di sepanjang sungai (DAS) Serayu, telah diperoleh data yang paling tinggi di Sungai Garung yaitu 1341, Sungai Sigaluh (361), Sungai Purwanegara (125), Sungai Mrican (149), Sungai Mandiraja (90.7), Sungai Kembangan (47.7), Sungai Somagede (43.7). dari data tersebut Sungai Garung memiliki elevansi lebih besar.
4.2.2 Lintang
Hasil pengamatan di tiap-tiap sungai berada pada lintang sebagai berikut: Sungai Kejajar (7-15-778), Sungai Garung (7-15-716), Sungai Sigaluh (7-24-180), Sungai Purwanegara (7-25-742), Sungai Mrican (7-24-040), Sungai Mandiraja (7-26-781), Sungai Kembangan (7-27-452), Sungai Somagede (7-30-758).
Bujur
Hasil pengamatan di tiap-tiap sungai berada pada bujur sebagai berikut: Sungai Kejajar (109-56-891), Sungai Garung (109-57-008), Sungai Sigaluh (109-46-799), Sungai Purwanegara (109-33-476), Sungai Mrican (109-35-826), Sungai Mandiraja (109-31-389), Sungai Kembangan (109-25-941), Sungai Somagede (109-20-205).
4.2.4 Lebar
Hasil dari praktikum yang dilakukan, di Sungai Kembangan memiliki lebar 53 m, dan merupakan sungai yang paling lebar diantara semua stasiun. Sungai Garung memiliki lebar 9 m, dan merupakan sungai yang paling kecil diantara semua stasiun. Lebar sungai yang didapatkan sangat berfariasi, hal ini disebabkan karena bentuk topografi, substrat dasar, riparian vegetation, erosi, dan arus sungai yang membawa endapan dasar sungai tersebut.



4.2.5 Kedalaman

Pengamatan yang dilakukan sesuai dengan lebar dan kecepatan airnya. Pada pengamatan diatas ditunjukkan di sungai Sumagede paling dalam kedalaman sungainya. Ini menunjukan bahwa perairan tersebut terlalu dalam karena sesuai dengan lebarnya. Jika di daerah itu dangkal maka akan hampir sama dengan dataran dan setiap hari akan mengakibatkan banjir karena tidak terapung.Kedalaman merupakan ukuran vertical yang dipengaruhi oleh cahaya dan suhu. Sungai Somagede merupakan sungai terdalam diantara stasiun lain dan Sungai Garung merupakan sungai yang paling dangkal diantara semua stasiun.







4.2.6 Kecerahan

Hasil dari tabel diatas tiap praktikum hasilnya berbeda-beda dapat dilihat dari sungai Kembangan kecerahan sungainya mencapai 62 cm disebabkan bahwa perairan sungai kembangan bahwa perairan tingkat kecerahannya tinggi karena daerah ini tidak terjadi erosi, banjir dan reparians vegetasinya ditumbuhi hutan, sehingga tidak terjadi banjir, Sungai Kembangan memiliki substrat dasar berupa batu-batuan, kerikil dan memiliki arus yang deras dan airnya akan jernih. Berbeda dengan daerah Mrican tingkat kecerahannya antara 5.5 cm. Hal ini menunjukan bahwa perairan di sungai mrican di berbagai tempat tingkat kecerahannya rendah karena batu-batuan sedikit. Tingkat kecerahan antara <20 cm air terlalu keruh, antara >20 cm air stabil. Berarti di daerah hulu tingkat kecerahan stabil, sebaliknya di daerah hilir tingkat kecerahannya terlalu keruh (Sary, 2006).




4.2.7 Kecepatan arus

Semakin tinggi kecepatan arus maka kandungan oksigen terlarut akan semakin tinggi pula. Dari hasil praktikum didapatkan data di Sungai Sumagede memiliki kecepatan arus yang sangat rendah yaitu 28.6 m/s dikarenakan memiliki kedalaman yang paling tinggi diantara stasiun yang lainnya, sesuai dengan tinjauan pustaka yang ada kecepatan arus berkurang seiring dengan penambahan kedalaman suatu perairan.Di Sungai Kejajar memiliki kecepatan arus sangat kencang yaitu 0.29 m/s dikarenakan sungai tersebut dangkal sehingga arus air kencang.

4.2.8 Suhu

Suhu merupakan factor dalam kehidupan flora dan fauna akuatis (Asdek, 2007). Suhu berbagai tempat .Suhu air mempunyai pengaruh yang universal dan sangat berperan dalam kehidupan organisme.
Sungai Mrican memiliki suhu yang tinggi sedangkan Sungai Kejajar memiliki suhu yang rendah hal ini disebabkan oleh lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam pengukuran suhu, kedalaman dari badan air yang berbeda dari setiap sungai. Hal tersebut sesuai dengan pustaka menurut Effendi (2003), temperature suatu badan perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air.
Peningkatan temperatur akan diikuti dengan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan, sehingga keberadaan oksigen di perairan seringkali tidak mampu memenuhi peningkatan oksigen yang dibutuhkan oleh organisme akuatik untuk metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003). Temperatur air di perairan nusantara umumnya berkisar 28-31 0C (Nontji, 1993).

4.2.9 Konduktivitas


Konduktivitas atau daya hantar listrik merupakan pertikel-partikel yang masuk diperairan dari hulu ke hilir. Nilai konduktivitas diberbagai tempat berbeda-beda ini terlihat dari grafik diatas, pada sungai Garung pling tinngi yaitu 340.2 µmhos. Sedangkan di Sungai Mrican konduktifitasnya sangat rendah yaitu 110.5 µmhos.
4.2.10 Salinitas

Salinitas sungai yang semakin kearah laut akan menigkat, hal ini menyebabkan distribusi salinitas di hulu sungai, muara hingga ke arah laut menunjukkan nilai yang cenderung naik. Hasil dari praktikum didapatkan nilai salinitas sebagai berikut dari salinitas rendahterdapat di Sungai Kejajar yaitu 0.1, sampai pling tertinggivdi Sungai Garung 0.2, pada setiap stasiun-stasiun tidak terlalu beragam, hal ini disebabkan oleh pencampuran antara air laut dan air tawar, curah hujan dan evaporasi yang relatif sama di tiap-tiap stasiun. Salinitas dapat berkurang jika terjadi hujan dengan curah hujan yang cukup tinggi (Anonymous 1999 dalam Herman, 2000).


4.2.11 Derajat keasaman (pH)

Hasil pengamatan diatas diberbagai stasiun, diperoleh nilai berbeda-beda, dapat di lihat tabel 1,2,3,6,7, dan 8 nilai pH diberbagai tempat sama yaitu 7, berarti keadaan suatu perairan netral. Sedangkan di Sungai Mrican nilai pH sangat tinggi yaitu 9, ini berarti keadaan suatu perairan bersifat basa, dikarenakan dianggap tercemar. Sedangkan pH di daerah sepanjang sungai serayu dapat hidup biota air umumnya ikan (Asdak, 2007).
Metode yang digunakan untuk mengukur nilai pH air yaitu dengan kertas lakmus, nilai dibawah 7 berarti asam, nilai sama dengan 7 berarti netral, nilai diatas 7 berarti basa. Hal tersebut sesuai dengan pustaka KEPMEN LH No. 51/2004, perairan dengan pH antara 5.0-9.0 dapat mendukung suatu perairan yang baik. Hal-hal yang dapat mempengaruhi pH antara lain buangan industri dan rumah tangga.






4.2.12 Vegetasi riparian

Tanaman tepi atau reparians vegetasi di tebing aliran sungai tersebut sebagai penghubung ekosistem air dan ekosistem darat. Tanaman tepi juga merupakan sebagai proses fotosintesis antara cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Menurut Sary (2006) Fotosintesis adalah salah satu aktivitas biologi yang sangan penting di perairan. Menurut Asdak (2007) daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi bukan daerah banjir dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh sebagai berikut :merupakan daerah pemanfaatan pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, dan jenis vegetasi di dominasi tanaman pertanian. Dari data tersebut Sungai Somagede memiliki vegetasi riparian yang tinggi yaitu sebesar 80 %, hal ini disebabkan karena Sungai Somagede memiliki area yang lebih luas dari Sungai yang lainnya.






4.2.13 Skor Habitat

Berdasarkan hasil pengamatan diberbagai stasiun, skor habitat paling tinngi yaitu 80 hasil ini dtemukan di beberapa Sungai didaerah tersebut optimal. Menurut barbour and stribling (1991) substrat dasar optimal lebih dari 80% dasar perairan terdiri atas kerikil, batu atau cadas.sedangkan didaerah hilir antara Lumpur dan pasir, berarti daerah tersebut poor.
4.2.14 Tipe Substrat
Hasil dari pengamatan tipe substrat tiap sungai adalah sebagai berikut: Sungai Kejajar memiliki substrat batuan, Sungai Garung memiliki substrat batuan, Sungai Sigaluh memiliki substrat batuan, Sungai Purwanegara memiliki substrat batuan, Sungai Mrican memiliki substrat batuan, Sungai Mandiraja memiliki substrat batuan, Sungai Kembangan memiliki substrat kerikil, Sungai Somagede memiliki substrat lumpur pasir.





V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pengamatan pola longitudinal ekosistem Sungai Serayu, perubahan faktor fisikokimia dari hulu ke hilir, dapat disimpulkan:
1. Dapat mengetahui bagaimana pola perubahan dari faktor-faktor fisikokimia sepanjang dearah aliran sungai Serayu
2. Dapat mengetahui pengaruhnya terhadap biota perairan yang terdapat didalamnya.

5.2 Saran
Pada praktikum Ekologi Perairan ini seharusnya pemerintah harus menindak lanjuti tentang pencemaran limbah di DAS Serayu. Diberi penyuluhan-penyuluhan seperti pemberdayaan masyarakat sekitar DAS Serayu.















DAFTAR PUSTAKA
Asdak, 2007. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah mada university press. Yogyakarta
Barus, T. A. 2002. Pengantar Limnologi. Medan : Universitas Sumatera Utara
Barus, 2002. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia,
Jakarta. 459 hal.
Effendi, H. 2003. Lahan Kualitas Air bagi Pengelola Sumberdaya & Lingkungan Perairan. J MSP Fak. P & K IPB, Bogor.
Irwan, 1992. Ekosistem Komunitas & Lingkungan. Bumi aksara. Jakarta
Koesbiono. 1979. Ekologi Perairan. Bogor. IPB
Nybakken, n. 1998. Biologi Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta : Gramedia
Odum, T. Howard.1992. ekologi system. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Rajawali.
Sary, 2006. Bahan Kuliah Manajemen Kualitas Air. Politehnik vedca. cianjur

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN KAJIAN EKOSISTEM TELAGA WARNA DAN TELAGA PENGILON DI DIENG UNTUK BUDIDAYA

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dataran Tinggi Dieng merupakan salah satu dataran tertinggi di dunia dan menduduki peringkat kedua setelah Dataran Tinggi di Nepal. Secara geografis, Dataran Tinggi Dieng terletak di antara 103,30 derajat garis Bujur Timur dan 111,30 derajat garis Lintang Selatan. Dataran tinggi Dieng berada pada ketinggian 6.802 kaki atau 2.093 m dpl. Temperatur udara rata-rata 150 C, pada bulan Juli-Agustus temperatur turun mencapai di bawah 00 C. Kawasan Dieng terbagi menjadi dua kawasan yaitu Kawasan Dieng Kulon (Dieng Barat) yang terletak di Kabupaten Banjarnegara dan Kawasan Dieng Wetan (Dieng Timur) yang terletak di wilayah Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah, 2009).
Dataran tinggi Dieng merupakan daerah vulkanis yang masih aktif, dapat dilihat pada aktivitas Kawah Si Kidang yang selalu menyemburkan asap belerang putih pekat. Sebagai kawasan vulkanis yang masih sangat aktif, menyebabkan kondisi tanahnya sangat labil, artinya setiap saat, dimana saja, dan kapan saja bisa muncul kawah dan telaga baru, yang biasanya disertai dengan awan panas, dan gas beracun. Sementara itu kawah dan telaga itu bisa juga hilang dalam sekejap dalam hitungan jam atau hari (Sukatno, 2004).
Ekosistem perairan tawar dibagi menjadi dua yaitu ekosistem perairan menggenang (lentik) dan ekosistem perairan mengalir (lotik) (Odum, 1971). Telaga Warna dan Telaga Pengilon merupakan ekosistem lentik yang terletak di Dataran Tinggi Dieng Wonosobo. Kedua telaga tersebut secara geografis berada di dataran wilayah Dieng Wetan. Kedua telaga tersebut mendapat pengaruh dari aktivitas daerah vulkanik yang berada disekitar Dataran Tinggi Dieng. Keindahan dan Keunikan yang dimiliki Telaga Warna dan Telaga Pengilon membuat kawasan ini dijadikan kawasan konservasi dan kawasan ekowisata yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Namun kegiatan ekowisata tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak bagi kualitas air di Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Ekosistem telaga dapat dimanfaatkan sebagai media budidaya. Namun perlu ada kajian khusus terlebih dahulu meliputi pengamatan kualitas air baik dari segi fisika, kimia, maupun biologi seperti pH, temperatur, konduktivitas, kedalaman, salinitas, oksigen terlarut (dissolved oxygen), BOD (biological oxygen demand), warna air, tanaman tepi, substrat dasar, dan keberadaan plankton dan benthik sebagai pakan alami. Praktikum ini dilakukan untuk mengkaji Telaga Warna dan Telaga Pengilon sebagai media budidaya ditinjau dari kualitas airnya.

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah:
1. Mengetahui kondis fisik dan kimia Telaga Warna dan Telaga Pengilon di Dieng.
2. Menganalisis dan mengkaji ekosistem Telaga Warna dan Telaga Pengilon di Dieng untuk budidaya perikanan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Telaga
Ekosistem telaga termasuk habitat air tawar yang memiliki perairan tenang yang dicirikan oleh adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,1–1 cm/detik atau tidak ada arus sama sekali. Oleh karena itu residence time (waktu tinggal) air bisa berlangsung lebih lama. Perairan telaga biasanya memiliki stratifikasi vertikal kualitas air yang bergantung pada kedalaman dan musim (Wetzel, 2001).
Pada dasarnya proses terjadinya telaga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: telaga alami dan telaga buatan. telaga alami merupakan telaga yang terbentuk sebagai akibat dari kegiatan alamiah, misalnya bencana alam, kegiatan vulkanik dan kegiatan tektonik. Sedangkan telaga buatan adalah telaga yang dibentuk dengan sengaja oleh kegiatan manusia dengan tujuan-tujuan tertentu dengan jalan membuat bendungan pada daerah dataran rendah (Odum, 1993).
Umumnya perairan telaga selalu menerima masukan air dari daerah tangkapan air di sekitar telaga, sehingga perairan telaga cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang terangkut bersamaan dengan air yang masuk. Oleh karena itu konsentrasi zat-zat yang terdapat di telaga merupakan resultan dari zat-zat yang berasal dari aliran air yang masuk (Payne, 1986). Kualitas perairan telaga sangat tergantung pada pengelolaan atau pengendalian daerah aliran sungai (DAS) yang berada di atasnya.
Berdasarkan kemampuan penetrasi cahaya matahari menembus ke dalam perairan telaga, wilayah telaga dapat dibagi menjadi tiga mintakat (zone) yaitu: zone litoral, zone limnetik, dan zone profundal. Zone litoral merupakan daerah pinggiran telaga yang dangkal dengan penetrasi cahaya sampai ke dasar, sedangkan zone limnetik adalah daerah air terbuka dimana penetrasi cahaya bisa mencapai daerah yang cukup dalam, sehingga efektif untuk proses fotosintesis. Bagian air di zone ini terdiri dari produsen plantonik, khususnya diatome dan spesies alga hijau-biru. Daerah ini juga merupakan daerah produktif dan kaya akan plankton. Selain itu, daerah ini juga merupakan daerah untuk memijah bagi banyak organisme air seperti insekta. Zone profundal merupakan bagian dasar yang dalam yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif (Cole, 1988).
Berdasarkan kandungan hara (tingkat kesuburan) telaga diklasifikasikan dalam 3 jenis, yaitu: telaga eutrofik, telaga oligotrofik dan telaga mesotrofik. Telaga eutropik (kadar hara tinggi) merupakan telaga yang memiliki perairan yang dangkal, tumbuhan litoral melimpah, kepadatan plankton lebih tinggi, sering terjadi blooming alga dengan tingkat penetrasi cahaya matahari umumnya rendah. Sementara itu, telaga oligotropik adalah telaga dengan kadar hara rendah, biasanya memiliki perairan yang dalam, dengan bagian hipolimnion lebih besar dibandingkan dengan bagian epilimnion. Semakin dalam telaga tersebut semakin tidak subur, tumbuhan litoral jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya tinggi. Telaga mesotropik merupakan telaga dengan kadar nutrien sedang, juga merupakan peralihan antara kedua sifat telaga eutrofik dan telaga oligotrofik. Jorgensen (1990) menambahkan bahwa tingkat trofik (kesuburan) suatu telaga juga dapat dinyatakan berdasarkan kandungan total nitrogen (TN), total fosfat (TP), klorofil-a dan biomassa fitoplankton (Goldmen dan Horne, 1989).
2.3.3 Danau Vulkanik
Danau adalah suatu cekungan pada permukaan bumi yang berisi air. Danau dapat memiliki manfaat serta fungsi seperti untuk irigasi pengairan sawah, ternak serta kebun, sebagai objek pariwisata, sebagai PLTA atau pembangkit listrik tenaga air, sebagai tempat usaha perikanan darat, sebagai sumber penyediaan air bagi makhluk hidup sekitar dan juga sebagai pengendali banjir dan erosi.
Danau vulkanik adalah danau yang terbentuk pada bekas kawah gunung berapi. Contoh yaitu : Danau Batur di Bali.
Danau yang disebabkan oleh kegiatan vulkanik :
• Danau kaldera terbentuk bila di dalam kaldera atau bagian tengah gunung berapi yang runtuh terkumpul air. Danau ini umumnya bulat dan dalam. Danau Toba di Sumatera adalah suatu danau kaldera.
• Danau kawah terbentuk bila dalam kawah, atau lubang bulat mirip corong di puncak gunung berapi terkumpul air. Contohnya ialah danau kawah di Oregon ( Amerika Serikat ).
Danau bendungan lava terbentuk bila aliran lava gunung berapi menyumbat lembah sungai dan menyebabkan terbentuknya danau. Contohnya adalah Laut Galilea di Timur Tengah.
2.2 Ekosistem
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen- komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik (produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi.. Berdasarkan pustaka lain, telaga adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu telaga ke telaga yang lain serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi (Ruttner, 1977 dalam Satari, 2001).
2.2.1 Dieng, Telaga Warna dan Telaga Pengilon
Nama Dieng (konon) berasal dari bahasa Indonesia purba (sebelum Bahasa Kawi) atau mungkin Bahasa Sunda Kuno dan bukan Bahasa Sanskerta yang berasal dari kata ”Di” dan ”Hyang” yang berarti kediaman para Dewa (The Gods Abode). Dari kawasan Dieng ini, sumber mata air Sungai Serayu berada. Sungai Serayu adalah sungai yang mengalir di daerah Jawa Tengah bagian selatan dan bermuara di Cilacap. Sumber mata air ini disebut Tuk Bimo Lukar (mata air Bimo Lukar) (Sukatno, 2004).
Dataran tinggi Dieng merupakan sebuah plateu yang terjadi karena letusan dahsyat sebuah gunung berapi. Dengan demikian kondisi geologisnya sampai sekarang masih relatif labil, bahkan sering terjadi gerakan-gerakan tanah. Beberapa menunjukkan hal tersebut adalah peristiwa hilangnya desa Legetan, terpotongnya jalan antara Banjarnegara, Karangkobar, dan Sukoharjo Ngadirejo maupun retakan-retakan tanah yang mengeluarkan gas beracun seperti peristiwa Sinila (Sukatno, 2004).
Dieng terbentuk dari gunung api tua yang mengalami penurunan drastis (dislokasi), oleh patahan arah barat laut dan tenggara. Gunung api tua itu adalah Gunung Prau. Pada bagian yang mengalami dislokasi itu muncul gunung-gunung kecil yaitu Gunung Alang, Gunung Nagasari, Gunung Panglimunan, Gunung Pangonan, Gunung Gajah Mungkur, dan Gunung Pakuwaja (Sukatno, 2004).
Beberapa gunung berapi masih aktif dengan karakteristik yang khas. Magma yang timbul tidak terlalu kuat, tidak seperti pada Gunung Merapi. Sedangkan letupan-letupan yang terjadi adalah karena tekanan air bawah tanah oleh magma yang menyebabkan munculnya beberapa gelembung-gelembung lumpur panas. Fenomena ini antara lain dapat dilihat pada Kawah Sikidang atau Kawah Candradimuka (Sukatno, 2004).
Terdapat dua buah telaga di dataran tinggi Dieng yaitu Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Kedua telaga tersebut secara geografis berada di dataran wilayah Dieng Wetan. Saat ini, kedua telaga tersebut mengalami tekanan yang cukup besar dan kuat. Hilangnya hutan alam jelas akan menyebabkan kian rendahnya kualitas lingkungan hidup. Telaga Warna dahulu digambarkan memiliki empat warna, yaitu merah, putih, biru, dan kuning. Namun ironis, kenyataannya Telaga Warna sekarang tidak berwarna-warni lagi. Warna yang tersisa hanya warna biru saja, sebagaimana warna telaga-telaga lain pada umumnya. Warna dari Telaga Warna konon terjadi karena di dataran tinggi Dieng merupakan daerah vulkanis, dimungkinkan bahwa Telaga Warna tersebut merupakan bekas sebuah kawah gunung berapi yang mati, dimana dasarnya tercipta dari berbagai endapan (sedimentasi) lahar vulkanik dari berbagai unsur bebatuan dan bahan-bahan kimia yang bercampur menjadi satu, seperti tanah, batu kuarsa, batu granit, belerang dan lain-lain. Dimungkinkan bahwa warna merah dan kuning tercipta dari endapan unsur belerang, warna putih berasal dari endapan bebatuan kapur serta kuarsa. Sedangkan warna biru dasarnya adalah endapan tanah (lumpur) sebagaimana telaga-telaga pada umumnya (Sukatno, 2004).
Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang ada di Dieng merupakan suatu perairan yang belum dimanfaatkan secara maksimal dalam bidang perikanan. Padahal apabila dapat dimanfaatkan dengan maksimal dan baik, telaga tersebut akan sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar telaga tersebut. Namun, keadaan telaga tersebut juga perlu untuk dikaji terlebih dahulu, apakah telaga tersebut cocok apabila dimanfaatkan dalam bidang perikanan seperti untuk budidaya ikan tertentu. Pengkajian tersebut dapat dilakukan dengan mengukur dan melihat faktor fisiko-kimia air dan faktor biologinya berupa kelimpahan dan keragaman plankton.
2.3. Faktor Fisik Kimia
2.3.1. Temperatur
Secara umum temperatur di dalam perairan akan mempengaruhi kehidupan (laju metabolisme), kelarutan oksigen dan gas-gas lain, kerapatan air, daya viskositas serta tegangan permukaan (Sugiharto, 1987). Temperatur merupakan faktor intensitas dari energi panas sehingga temperatur manjadi faktor penting dalam mengatur proses yang terjadi di perairan. Temperatur air berpengaruh besar terhadap proses pertukaran zat bagi makhluk hidup dan juga terhadap jumlah oksigen yang larut dalam air (Soeseno, 1970). Temperatur banyak mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme (Hutabarat, 1985). Temperatur air sangat berpengaruh terhadap distribusi, pertumbuhan, reproduksi, metabolisme dan tingkah laku organisme perairan.Temperatur merupakan salah satu faktor penting yang mendukung proses-proses reaksi dalam perairan karena selain mempengaruhi komponen biotik juga mempengaruhi komponen abiotik (Odum, 1971). Bagi komponen biotik, temperatur sering bertindak sebagai faktor pembatas dalam pertumbuhan dan distribusinya sedangkan bagi komponen abiotik akan mempengaruhi kandungan gas-gas terlarut. Temperatur mempengaruhi kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktifitas biologis serta fisiologis dalam ekosistem air (Barus, 2002). Temperatur air menentukan keberadaan suatu organisme pemijahan, pembenihan dan regulator aktivitas-aktivitas yang dapat berpengaruh merangsang atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan (Pescod, 1973). Temperatur air bukan saja merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisika kimia air tetapi juga sifat fisiologi organisme yang hidup di air tersebut. Steeman-Nielsen (1975) dalam Nontji (1980) menyatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 10 0C akan meningkatkan laju fotosintesis menjadi dua kali lipat. Secara umum, kenaikan temperatur perairan akan mengakibatkan kenaikan aktivitas biologi dan pada gilirannya, memerlukan lebih banyak oksigen di dalam perairan tersebut. Hubungan antara temperatur air dan oksigen biasanya berkorelasi negatif, yaitu kenaikan suhu di dalam air akan menurunkan tingkat solubilitas oksigen dan dengan demikian, menurunkan kemampuan organisme akuatik dalam memanfaatkan oksigen (Odum, 1971). Kisaran temperatur yang baik dalam perairan adalah 250 C – 320 C (Welch, 1952).
2.3.2 Potensial Hidrogen (pH)
Derajat keasaman atau pH merupakan suatu indeks kadar ion hidrogen (H+) yang mencirikan keseimbangan asam dan basa. Derajat keasaman suatu perairan, baik tumbuhan maupun hewan sehingga sering dipakai sebagai petunjuk untuk menyatakan baik atau buruknya suatu perairan (Odum, 1971). Nilai pH juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas perairan (Pescod, 1973). Nilai pH pada suatu perairan mempunyai pengaruh yang besar terhadap organisme perairan sehingga seringkali dijadikan petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan (Odum, 1971). Biasanya angka pH dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator dari adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur kimia dan unsur-unsur hara yang sangat bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik. Tinggi rendahnya pH dipengaruhi oleh fluktuasi kandungan O2 maupun CO2.
Tidak semua mahluk bisa bertahan terhadap perubahan nilai pH, untuk itu alam telah menyediakan mekanisme yang unik agar perubahan tidak terjadi atau terjadi tetapi dengan cara perlahan (Sary, 2006). Tingkat pH lebih kecil dari 4, 8 dan lebih besar dari 9, 2 sudah dapat dianggap tercemar. Angka pH yang sesuai untuk kehidupan ikan-ikan tersebut adalah 6,5-8,4 (Asdak, 2007).
Derajat Keasaman (pH) sangat penting sebagai parameter kualitas air karena pH mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu organisme akuatik dapat bertahan hidup pada kisaran ph tertentu. Fluktuasi pH sangat ditentukan oleh alkaliniitas air tersebut. Suatu perairan yang produktif dan mendukung kelangsungan hidup organisme akuatik terutama ikan menurut PP No. 82 (2001) yaitu berkisar 6-9.
2.3.4 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut (DO) merupakan unsur utama proses metabolisme tumbuhan dan hewan air, terutama pada proses respirasi. Kadar oksigen terlarut pada suatu perairan juga dapat digunakan sebagai petunjuk kualitas suatu perairan. Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills, 1996).
Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosentesis tanaman air, jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah tanaman dan dari atmosfer (udara) yang masuk ke dalam air dengan kecepatan terbatas. Konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaaan jenuh bervariasi tergantung dari suhu dan tekanan atmosfer. Semakin tinggi suhu air, semakin rendah tingkat kejenuhannya (Nybaken, 1988). Oksigen terlarut dalam air merupakan salah satu sifat kimia lingkungan perairan yang sangat penting dan esensial bagi kehidupan organisme didalamnya. Kandungan oksigen terlarut harus diimbangi dengan kandungan CO2 bebas dalam suatu perairan (Wardoyo, 1981). Menurut Pescod (1973) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut sebesar > 6,5 menunjukkan perairan tersebut tidak tercemar atau tercemar ringan, 4,5-6,5 menunjukkan perairan tersebut tercemar ringan, 2,0-4,4 menunjukkan peraiaran tersebut tercemar sedang, dan < 2,0 menunjukkan perairan tersebut tercemar berat.

2.3.5 Konduktivitas
Konduktivitas atau daya hantar listrik, merupakan partikel-partikel yang masuk di suatu perairan. Tingkat konduktivitas perairan akan menunjukan nilai kandungan partikel-partikel yang terkandung di air sekaligus menunjukan tingkat polusi perairan (Odum, 1971).
2.3.5 Salinilitas
Salinitas adalah nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil (‰) (Barus, 2002). Menurut Tseng (1987) dalam Chien (1992) mengatakan bahwa salinitas memiliki pengaruh terhadap tekanan osmotik air. Perubahan salinitas secara cepat umumnya menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Salinitas air dipengaruhi oleh pencampuran air laut dan tawar, curah hujan dan evaporasi.
2.3.6 Letak Geografis
2.4. Plankton
Komunitas merupakan kumpulan populasi dari jenis yang berbeda-beda dimana antara masing-masing jenis tersebut melakukan interaksi baik langsung maupun tidak langsung tergantung peranannya (Suwarso et al, 1998). Struktur komunitas merupakan salah satu analisa komunitas yang berdasarkan bentuk dan sifat struktur utama seperti keragaman, kelimpahan, dominansi, dan kemerataan (Odum, 1971).
Kelimpahan merupakan salah satu petunjuk kepadatan relatif dari suatu organisme di suatu tempat tertentu, selanjutnya dinyatakan bahwa kelimpahan relatif adalah perbandingan kelimpahan individu seluruh jenis dalam suatu komunitas (Krebs, 1978).
Keragaman spesies merupakan hubungan antara jumlah spesies dan individu dalam suatu komunitas. Keragaman tinggi bila tiap individu berbeda spesies dengan tidak adanya dominansi. Keragaman adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragamannya (Odum, 1971). Menurut Lee et al (1978) apabila indeks keragaman >2 maka perairan tersebut dikatakan tidak tercemar atau tercemar sangat ringan, bila indeks 2,0-1,6 maka perairan tersebut dikatakan tercemar ringan, apabila indeks keragaman 1,5-1,0 maka perairan tersebut dikatakan tercemar sedang, dan apabila indeks keragaman <1 maka perairan tersebut dikatakan tercemar berat.
Dominansi adalah jenis (golongan jenis) yang sebagian besar mengendalikan arus energi dan kuat sekali mempengaruhi lingkungan dari jenis lainnya (Odum, 1971). Indeks dominansi berbanding terbalik dengan indeks keragaman, dimana bila indeks dominansi tinggi maka indeks keragamannya kecil.
Plankton adalah jasad-jasad renik yang hidup melayang-layang dalam air, dan selalu mengikuti arus (Sachlan, 1982). Plankton terdiri dari jasad yang hidup melayang di air tawar atau air laut (Djuhanda, 1980). Plankton dibedakan menjadi 2, yaitu zooplankton (hewan) dan fitoplankton (tumbuh-tumbuhan) (Djuhanda, 1980; Hutabarat, 2000). Fitoplankton adalah tumbuh-tumbuhan air yang berukuran sangat kecil yang terdiri dari sejumlah besar kelas yang berbeda (Hutabarat, 2000)., sedangkan menurut Djuhanda (1980) fitoplankton merupakan tumbuhan renik mulai dari ganggang bersel satu sampai dengan ganggang bersel banyak. Fitoplankton merupakan kunci yang membuka kehadiran semua kehidupan dalam air (Djuhanda, 1980). Hal ini disebabkan karena fitoplankton mempunyai peranan yang sangat penting dan merupakan produsen utama bahan-bahan organik di perairan melalui proses fotosintesis (Hutabarat, 2000).
Fitoplankton dikelompokkan dalam divisi utama yaitu Cyanophyceae (ganggang biru) dapat hidup di air tawar dan laut, Chrysophyceae (ganggang kuning kecoklatan termasuk Silicoflagelata) dapat hidup di air tawar dan laut, Haptophyceae (ganggang kuning kecoklatan termasuk Cocolithopora), Chlorophyceae (ganggang hijau) kebanyakan hidup di air tawar dan sedikit di air laut, Parasinophyceae, Euglenophyceae (hidup hanya di air tawar dan payau), Cryptophyceae, dan Dybophyceae (Basmi, 1999; Hutabarat, 2000; Sachlan, 1982).
Zooplankton adalah suatu grup yang terdiri dari berbagai jenis hewan yang banyak macam-nya (Hutabarat, 2000), sedangkan menurut Nybakken (1992) zooplankton merupakan anggota dari plankton yang bersifat hewani dan beraneka ragam jenisnya terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan. Zooplankton dikelompokkan dalam grup-grup utama yaitu dari filum Protista, Cnidaria, Ctenophora, Chaetognatha, Annelida, Arthropoda, Moluska, dan Chordata (Hutabarat, 2000). Zooplankton tidak dapat memproduksi zat-zat organik oleh karena itu mereka harus mendapat tambahan bahan-bahan organik dari makanannya. Zooplankton bersifat herbivora yang memakan fitoplankton secara langsung (Hutabarat, 2000).
2.5. Benthos
Benthik atau hewan makrobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesile, merayap maupun menggali lubang (Kendeigh, 1980; Odum 1993; Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind, 1985), serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Odum, 1993).
Bentik membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan bentik, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan.
Berdasarkan ukurannya, bentik dapat digolongkan ke dalam kelompok bentik mikroskopik atau mikrozoobentos dan bentik makroskopik yang disebut juga dengan makrozoobentos. Menurut Cummins (1975), makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3-5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. APHA (1992) menyatakan bahwa makrozoobentos dapat ditahan dengan saringan No. 30 Standar Amerika. Selanjutnya Slack et all. (1973) dalam Rosenberg and Resh (1993) menyatakan bahwa makrozoobentos merupakan organisme yang tertahan pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500 mikrometer.
Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea dan larva serangga. Sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalve dan Polychaeta. Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins, 1975). Taksa-taksa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan karena sebagian dari padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan (Janto et all., 1981 dalam Nurifdinsyah, 1993).
Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (APHA, 1992).
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas. Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi ling-kungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.
Berdasarkan teori Shelford (Odum, 1993) maka makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit.
Menurut Laevastu dan Taivo, 1996 menyatakan bahwa ekosistem benthik terdiri dari berbagai tumbuhan dan hewan yang paling banyak menghabiskan hidupnya di atas atau di dalam substrat dasar. Menurut Odum (1971), hewan makrobentos merupakan binatang yang berhabitat di sedimen atau hidup di atas atau di dalam substrat dasar yang lain di air tawar, estuarin dan ekosistem laut. Sepanjang hidup atau bagian dari daur hidupnya organisme ini dapat membentuk tempat berlindung, lubang atau jaring sebagai tempat. Komunitas hewan makrobentos hidup di permukaan dasar perairan baik yang melekat, merayap, membenamkan diri atau membuat lubang pada dasar perairan. Makroinvertebrata dapat didefinisi dengan tertahan pada sieve nomor 30 (0.595 mm). (Anonimous, 1995), meskipun tingkat hidup yang lebih awal beberapa spesies makroinvertebrata lebih kecil dari ukuran tersebut. (Rosenbergh dan Resh, 1993).
Hewan makrobentos lebih tepat digunakan sebagai indikator pencemaran organik di suatu perairan, karena pencemaran organik memberikan pengaruh spesifik terhadap masing-masing spesies hewan makrobentos itu. Misalnya saja Diatom Perifiton yang banyak hidup melekat di dasar perairan. Diatom perrifiton sangat penting dalam ekosistem perairan karena merupakan produsen dalam rantai makanan yakni sebagai penghasil bahan organik dan oksigen (Siska, 2008).
Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea dan larva serangga. Sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalvia dan Polychaeta. Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (APHA, 1992). Pada dasarnya hewan bentik terbagi menjadi dua yaitu hewan yang hidup di atas permukaan sedimen disebut epibenthic atau epifaunal dan hewan yang hidup dalam sedimen disebut infaunal atau kadang-kadang disebut sedimentary (Meadows dan Campbell, 1998).

III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut : termometer, ember 10 liter, plankton net no.25, conductivity meter, pH paper universal, mikroskop binokuler, objek dan cover glass, pipet tetes, botol film, buku identifikasi, lup, label, alat tulis, isolasi, botol winkler 250 ml, dan eckman grab.
3.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah larutan formalin 4%, larutan lugol, larutan Mn SO , larutan KOH-KI, larutan Na S O 0,025 N, larutan H SO 4N, indikator amilum 0,5 %, dan aquades.
3.2. Metode
3.2.1 . Temperatur
Dicelupkan termometer pada perairan, ditunggu beberapa menit sampai pengukuran angka stabil. Dilakukan pengukuran di tiga titik, kemudian dirata-ratakan.


3.2.2. Potensial Hidrogen (pH)
Dicelupkan kertas pH pada perairan. Disamakan perubahan warna pada kertas dengan warna skala pH yang tercantum.
3.2.3. Oksigen Terlarut
Dengan menggunakan alat konduktivitimeter yang dicelupkan pada perairan yang sebelumnya telah dikalibrasikan. Ditunggu hingga beberapa saat, kemudian dilihat angka yang tertera pada layar konduktivitimeter.
3.2.4. Konduktivitas dan Salinitas
Sampel air diambil dengan menggunakan botol winkler 250 ml dicelupkan ke dalam perairan hingga tidak terdapat gelembung. Kemudian sampel air ditetesi dengan larutan KOH-KI dan larutan MnSO sebanyak
3.2.6 Letak Geografis
3.2.6. Pengambilan sampel plankton
Pengambilan sampel plankton menggunakan plankton net no. 25 untuk menyaring air dan ember digunakan untuk mengambil air, air yang diambil sebanyak 20 ember. Kemudian sampel planktin dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.
3.2.7. Pengambilan benthik dengan alat eckmen grab
Pengambilan sampel benthik menggunakan alat eckman grab yaitu alat di buka penjepitnya lalu dilepaskan ke dasar sungai lalu tarik dari permukaan air.

3.3. Waktu dan Tempat
Acara praktikum dilakukan hari Rabu, 5 - 6 November 2009 di Telaga Warna dan Telaga Pengilon, Dieng Wonosobo dan pada tanggal 26 Novenber 2009 di Laboratorium Akuatik Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas Jenderal Soedirman.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Oksigen Terlarut
3.4.2 Indeks Keragaman
3.4.3 Kelimpahan Makronvertebrata Bentik
3.4.4 Kelimpahan Plankton



IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel (ke-X) Faktor Fisik nimia di Telaga Warna
Parameter Waktu
18.00 21.00 24.00 03.00 05.00
Ketinggian tempat (mDPAL) 2070 2070 2070 2070 2070
Letak lintang (º)
Letak bujur (º)
Temperatur (ºC)
salinitas ppt
Potensial Hidrogen
Konduktifitas (μmhos/cm)
Oksigen terlarut (ppm)
























No Genera U1 U2 V3 Jml Rataan F Kelimpahan
FxN (individu/L) Keragaman
(H’)
1 Synedra acus 1 1 1 19.41 39 2.953

2 Heteronema acus Ehrbg 1 1 1 19
3 Plank toniella sd 1 1 1 19
4 Rhizosoleria alatar 2 1 2 5 1 78
5 Stavioneis acutum 1 1 1 19
6 Oscillatoria Limnosa Ag 1 1 1 19
7 Miarsstenias caratophora Josh 1 1 1 19

8 Pleuzotaenium undulatum 1 1 1 19
9 Tetramastix apoliensis 1 1 1 39
10 Nauplius 1 1 1 3 1 19
11 Diatoma Vulasne 1 2 1 4 2 19
12 planktoniella sd 1 1 2 1 19
13 Anobialina bypica 1 1 2 1 39
14 Cyclotella openculata 15 4 19 7 19
15 Ceratium extensum 2 2 4 1 19
16 Rattulus rattus 1 1 2 1 19
17 closterium kuetzingii 2 2 4 1 19
18 Nitzschia vermicularis 1 1 2 1 19
19 Richteriella botlipdes lemm 2 2 2 6 2 19
20 Raphidium polymorphun kute 1 1 2 1 19
21 Cyclops tuscus 2 1 3 1 19
22 Cyclops fimbriatus 1 1 2 1 19
23 Cypxl dopsis viduan 1 1 1 3 1 19
24 Cyclops strenuus 1 1 2 1 19
25 Thalassiothrix sp 3 3 1 7 2 19
26 Cyclops strenuus metanqulius 1 1 2 1 136
27 Nitzschia closterium 2 1 3 1 19
28 Amphiphora gigantea 1 1 1 19
29 Blastodinium dalam paracalanus 1 1 1 19
30 Amphiphora uruats 1 1 1 19
31 Pleurogsigma naviculacem 1 1 1 19
32 Pessodinium lunala 1 1 1 19
33 Branchionus callicatus 1 1 1 19
34 Plerosygma Naviculacem 1 1 1 19
35 Synura wela Ehrbg 1 1 1 19
36 Syndera ulna 1 1 1 19
37 Cymbella halvatica 1 1 1 19
38 Scneclesmus obligous kuts 1 1 1 19
39 Polyeclirium lobucatum haeg 1 1 1 19
40 Lacry maria sp 1 1 1 19
41 synopia ultramarina 1 1 1 19
42 Psedeuphausi lotiferons 1 1 1 19
43 diaptomus vulgaris 1 1 1 19
44 Diaptomus bnachyura 1 1 1 19
45 Miaras tosias faliacal bail 1 1 1 19
46 Karthidium siperbum eilv 1 1 1 19
47 Aluna rectangula diapha kosonma 1 1 1 19
48 Lucifer intendius 1 1 1 19
49 Nitzschia lorenziana 1 1 1 19
50 Rhopalol dea gibba 1 1 1 19
51 Ichgodentum var porotilium 1 1 1 19
4.2 Pembahasan
Temperatur di telaga Warna dan Pengilon


Temperatur merupakan faktor dalam kehidupan flora dan fauna akuatik. Temperatur diberbagai tempat akan berbeda-beda, temperatur air mempunyai pengaruh yang universal dan sangat berperan dalam kehidupan. Telaga Warna dan Pengilon termasuk daerah dataran tinggi oleh karena itu temperatur sangat rendah. Melihat dari hasil tersebut maka bisa dikatakan di Telaga Warna tidak bisa dijadikan untuk budidaya.
Temperatur air paling baik dan efesien diukur menggunakan sensor elektronis seperti termistor. Termistor ini memudahkan bagi para pemula untuk mengambil ‘profil temperatur’ dari habitat aquatik (Hutchinson 1967).
4.2 Syarat Budidaya
Syarat Hidup dan Kebiasaan Hidup. Ikan sangat toleran terhadap derajat keasaman (pH) air. Ikan ini dapat bertahan hidup di perairan dengan derajat keasamaan yang agak asam (pH rendah) sampai di perairan yang basa (pH tinggi) dengan pH 5-9. Kandungan oksigen yaitu 02 terlarut yang dibutuhkan bagi kehidupan patin adalah 3-6 ppm. Kadar karbondioksida (CO2) yang bisa ditoleran adalah 9-20 ppm. Tingkat alkalinitas yang dibutuhkan 80-250 ppm. Sementara itu, temperatur air yang optimal untuk pertumbuhan ikan adalah 28-30° C. Habitat aslinya, ikan ini selalu bersembunyi di dalam lubang-lubang. Sebagai ikan nocturnal, ikan baru keluar dari liang persembunyiannya ketika hari mulai gelap. Kebiasaan lain, ikan ini lebih banyak menetap di dasar- perairan daripada muncul di permukaan air. Secara alami,pakan ikan di alam bebas berupa ikan-ikan kecil,cacing, detritus (mikroba pengurai di dasar perairan), serangga, udang-udangan, moluska, dan biji-bijian (Khairul Amri, 2008).

Menggunakan oksigen terlarut

Kadar oksigen terlarut sebesar > 6,5 menunjukkan perairan tersebut tidak tercemar atau tercemar ringan, 4,5-6,5 menunjukkan perairan tersebut tercemar ringan, 2,0-4,4 menunjukkan peraiaran tersebut tercemar sedang, dan < 2,0 menunjukkan perairan tersebut tercemar berat Budidaya ikan merupakan salah satu usaha dalam bidang perikanan yang mana didalam kegiatannya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang dapat menunjang kegiatan budidaya, apabila kondisi lingkungan baik maka kemungkinan dalam usaha budidaya akan berjalan dengan baik. Faktor lingkungan seperti temperatur, pH, kekeruhan, CO2 bebas, O2 terlarut dan BOD akan mempengaruhi aktifitas biologi dan reproduksi bagi ikan. Seperti halnya tingkah laku makan, pertumbuhan, pemijahan dan kelangsungan hidup larva atau benih ikan. Dari hasil tersebut Telaga Pengilon memenuhi syarat untuk budidaya ikan karena oksigen terlarut tinggi maka ikan dapat hidup tetapi tidak dapat bereproduksi, sehingga untuk budidaya kurang efektif, sedangkan pada Telaga Warna oksigen terlarutnya tidak terdeteksi karena faktor lingkungan yang mengandung belerang dan asam sulfat lainnya termasuk perairan tersebut tercemar.
4.2.1. Konduktivitas

Konduktivitas atau daya hantar listrik, merupakan partikel-partikel yang masuk di suatu perairan. Tingkat konduktivitas perairan akan menunjukan nilai kandungan partikel-partikel yang terkandung di air sekaligus menunjukan tingkat polusi perairan (Odum, 1971).

4.2.2. Temperatur

Suhu yang diperoleh di telaga warna antara 20,2ºC. Suhu yang paling baik digunakan pada budidaya adalah antara 25º-32ºC pada kondisi ini pertumbuhan akan maksimum. Tetapi bila dibandingkan dengan kenyataan suhu di Telaga Dieng pada suhu ini pertumbuhan tidak maksimal karena energi yang didapat ikan dari metabolisme hanya akan digunakan untuk mempertahankan hidup.sehingga perairan di Telaga Dieng tidak dapat digunakan untuk budidaya walaupun ikan dapat hidup disana tetapi hanya sebatas untuk mempertahankan hidupnya bukan pertumbuhan dan perkembangbiakan sebagai tujuan dari budidaya (Affrianto, 1988). Suhu di dalam air dapat menjadi faktor penentu atau pengendali kehidupan flora dan fauna akuatis (Asdak, 2007).
4.3 Indeks Keragaman Plankton

Indeks keragaman pada diagram diatas menunjukan telaga pengilon jauh lebih beraneka ragam dikarenakan telaga pengilon lebih jernih dan perairan tidak tercemar. Pada Telaga Warna perairan tercemar ringan sehingga tidak layak untuk budidaya Keragaman spesies merupakan hubungan antara jumlah spesies dan individu dalam suatu komunitas. Keragaman tinggi bila tiap individu berbeda spesies dengan tidak adanya dominansi. Keragaman adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragamannya (Odum, 1971). Apabila indeks keragaman >2 maka perairan tersebut dikatakan tidak tercemar atau tercemar sangat ringan, bila indeks 2,0-1,6 maka perairan tersebut dikatakan tercemar ringan, apabila indeks keragaman 1,5-1,0 maka perairan tersebut dikatakan tercemar sedang, dan apabila indeks keragaman <1 maka perairan tersebut dikatakan tercemar berat (Lee et al, 1978). Kesuburan suatu perairan tergambar dari keberadaan plankton terutama komposisinya.


















V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
- Derajat keasaman di Telaga warna sebesar 2, terlalu asam untuk tempat hidup ikan sedangkan di Telaga pengilon pH 8 sudah memenuhi yarat budidaya.
- Suhu yang diperoleh di telaga warna antara 20,2C. Suhu yang paling baik digunakan pada budidaya adalah antara 25º-32ºC. Pada Telaga Pengilon 22 ºC
- Telaga warna di Dieng Sangat tidak di anjurkan unutuk kegiatan budidaya

5.2 Saran
Praktikum ekologi perairan dilaksanakan di Telaga Dieng, bagus untuk melakukan praktikum tetapi karena dilakukan pada jam-jam tertentu sangat tidak efektif.

















DAFTAR PUSTAKA

Affrianto, Eddy & Evy Liviwaty.1988. Beberapa Metode Budidaya ikan. Kanisius. Yogyakarta
Asdak, 2007. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah
mada university press. Yogyakarta
Basmi, J. 1999. Planktonologi. FPIK-IPB. Bogor.
Irawan, 1992. Ekosistem Komunitas & Lingkungan. Bumi aksara. Jakarta
Karwani, 2006. Manajemen Kualitas Air. Politehnik vedca. Cianjur
Odum, E. P.1971.Fundamental of Ecology .Philadelpia : WB Sounders
Sachlan, M. 1982. Planktonology. Fak. Peternakan dan Perikanan UNDIP. Semarang.
Sary, 2006. Bahan Kuliah Manajemen Kualitas Air. Politehnik vedca. Cianjur









Tabel pengamatan di Telaga Pengilon memakai alat plankton net
Kelimpahan di telaga pengilon
Plankton memakai surber

Rumus Kelimpahan = F x N
Diatoma Vulasne =2x 19,41=39
planktoniella sd =1 x 19,41=19
Anobialina bypica =1 x 19,41=19
Ceratium extensum =4 x 19,41=78
Rattulus rattus =1 x 19,41=19
closterium kuetzingii =1 x 19,41=19
Nitzschia vermicularis =1 x 19,41=19
Richteriella botlipdes lemm =1 x 19,41=19
Raphidium polymorphun kute =2 x 19,41=39
Cyclops tuscus =1 x 19,41=19
Cyclops fimbriatus =1 x 19,41=19
Cypxl dopsis viduan =1 x 19,41=19
Cyclops strenuous =2 x 19,41=39
Thalassiothrix sp =1 x 19,41=19
Cyclops strenuus metanqulius =1 x 19,41=19
Nitzschia closterium =1 x 19,41=19
Synedra acus =1 x 19,41=19
Heteronema acus Ehrbg =1 x 19,41=19
Plank toniella sd = 1 x 19,41=19
Stavioneis acutum = 1x 19,41=19
Oscillatoria Limnosa Ag = 1 x 19,41=19
Miarsstenias caratophora Josh = 1 x 19,41=19
Pleuzotaenium undulatum = 1 x 19,41=19
Tetramastix apoliensis = 1 x 19,41=19
Nauplius = 1 x 19,41=19
Cyclotella openculata = 7 x 19,41=136
Amphiphora gigantean = 1 x 19,41=19
Blastodinium dalam paracalanus = 1 x 19,41=19
Amphiphora uruats = 1 x 19,41=19
Pleurogsigma naviculacem = 1 x 19,41=19
Pessodinium lunala = 1 x 19,41=19
Branchionus callicatus = 1 x 19,41=19
Plerosygma Naviculacem = 1 x 19,41=19
Synura wela Ehrbg = 1 x 19,41=19
Syndera ulna = 1 x 19,41=19
Cymbella halvatica = 1 x 19,41=19
Scneclesmus obligous kuts = 1 x 19,41=19
Polyeclirium lobucatum haeg = 1 x 19,41=19
Lacry maria sp = 1 x 19,41=19
synopia ultramarina = 1 x 19,41=19
Psedeuphausi lotiferons =1 x 19,41=19

Keragaman di Telaga Pengilon
Diatoma Vulasn = - Σ ni ln ni
N N
= 39 ln 39 = -0.117
1110 1110

planktoniella sd = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Anobialina bypica = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Ceratium extensum = 78 ln 78 = -0.185
1110 1110

Rattulus rattus = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

closterium kuetzingi i= 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Nitzschia vermicularis = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Richteriella botlipdes lemm = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Raphidium polymorphun kute= 39 ln 39 = -0.117
1110 1110

Cyclops tuscus = 19 ln 19 =-0.069
1110 1110

Cyclops fimbriatus = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Cypxl dopsis viduan = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Cyclops strenuous = 39 ln 39 = -0.117
1110 1110


Thalassiothrix sp = 19 ln 19 = -0.069
110 110

Cyclops strenuus metanqulius= 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Nitzschia closterium = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Synedra acus = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Heteronema acus Ehrbg = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Plank toniella sd = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Stavioneis acutum = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Oscillatoria Limnosa Ag = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Miarsstenias caratophora Josh = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110



Pleuzotaenium undulatum = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Tetramastix apoliensis = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Nauplius = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Cyclotella openculata = 136 ln 136 = -0.257
1110 1110


Amphiphora gigantean = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Blastodinium dalam paracalanus =19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Amphiphora uruats = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Pleurogsigma naviculacem = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Pessodinium lunala = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Branchionus callicatus = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Plerosygma Naviculacem = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Synura wela Ehrbg = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Syndera ulna = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Cymbella halvatica =19 ln 19 = -0.069
1110 1110


Scneclesmus obligous kuts = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Polyeclirium lobucatum haeg = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Lacry maria sp = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

synopia ultramarina = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

Psedeuphausi lotiferons = 19 ln 19 = -0.069
1110 1110

H’ = -∑ (-0.117 -0.069 -0.069 -0.185 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.117 -0.069 -0.069 -0.069-0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.257 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069 -0.069)
= 2.953





F =








Kelimpahan di Telaga Pengilon
Eckmen Bentik
Tabel pengamatan bentik dengan alat eckmen grab
No Genera Ul.1 Ul.2 Ul.3 Jumlah Kepadatan
(individu/m2) Keragaman
1 Anelida 2 2 6 10 4 0.3185
2 Odonata 1 1 1
3 Ephemeptora 1 1 1



Kepadatan = Σ ni

A× s

Σ ni : Jumlah data
A : Luas penampang = 8
s : jumlah pengambilan bentik = 3


Kelimpahan Anelida = Σ ni
A × s
= 10 = 4 individu/m3
8 ×3

Kelimpahan Odonata = 1 = 1 individu/m3
8×3


Kelimpahan Ephemeroptera = 1 = 1 individu/m3
8×3 +

Total = 6 individu/m3

Keragaman = - Σ ni ln ni
N N

= - Σ (10 ln 10 ) +( 1 ln 1 ) + ( 1 ln 1 )
12 12 12 12 12 12

= - ( (- 0,1519) + (-0,0833) + (-0,0833))

= -(-0,3185)
= 0,3185













No Genera Ulangan N (Individu) Kelimpahan (Individu/L) H’
1 2 3
1. Hyloteca - 1 2 1 29 2.953

2. Desmidium - 1 - 1 29
3. Gronblandia 1 1 1 1 29
4. Cyclotella 2 2 1 2 58
5. Stentor 1 - - 1 29
6. Synedra 1 - 1 1 29
7. Closterium 1 2 - 1 29
8. Asterionella - - 1 1 29
9. Nitzschia 1 - - 1 29
10. Eunotia - 1 - 1 29
11. Heteronema 1 - - 1 29
Jumlah 348


• Keragaman ( H’) = =



1. H’ =

= 0,111111111 . – 2,197224577
= 0,244136064


2. H’ =

= 0,037037037 . -3,295836866
= 0,122068032


3. H’ =

= 0,111111111 . -2,197224577
= 0,13462

4. H’ =

= 0,006097561 . -1,686398954

= 0,244136064


5. H’ =

= 0,037037037. -3,295836866
= 0,122068032

6. H’ =

= 0,074074074. -2,602689685
= 0,192791829


7. H’ =

= 0,111111111 . -2,197224577
= 0,244136064


8. H’ =

=0,037037037 . -3,295836866

= 0,122068032

9. H’ =

= 0,074074074 . -2,602689685
= 0,192791829


10. H’ =

= 0,037037037 . -0,037037037
= 0,122068032

11. H’ =

= 0,037037037 . -0,037037037
= -0,001371742

12. H’ =

= 0,037037037. -0,037037037
= -0,001371742

13. H’ =

= 0,037037037 . - 0,037037037
= -0,001371742


14. H’ =

= 0,037037037 . - 0,037037037
= -0,001371742

15. H’ =

= 0,037037037 . - 0,037037037
= -0,001371742

Keterangan :
1. Hyloteca undulata gronbi
2. Desmidium baileyi
3. Gronblandia inflata scott
4. Cylotella operculate
5. Stentor sp
6. Synendia sp
7. Closterium
8. Asterio nella gracillina
9. C. Elliptica
10. Closterium kuetzingii
11. Nazschia vermicularis
12. Eunotia ahrenbergii
13. N. Curvula
14. Heteronema acus ehibg
15. O. leave var microcanthum nordst

F =
=
= 29,116 / L

Kelimpahan Plankton / liter = F x N
= 29,116 / L x 348
= 10132 / L
Keragaman
H’ = pi ln pi
= -
=
=
= - (-0,2071) + (-0,2071) + (-0,2071) + (-0,2986) + (-0,2071)
+ (-0,2071) + (-0,2071) + (-0,2071) + (-0,2071) + (-0,2071)
+ (-0,2071)
= 2,3696





LAPORAN PRAKTIKUM
EKOLOGI PERAIRAN
KAJIAN EKOSISTEM TELAGA WARNA DAN
TELAGA PENGILON DI DIENG UNTUK BUDIDAYA










Oleh :
Raina Dwi Putri. A
H1H008021






JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS SAIN DAN TEKNIK
UNIVERSITAS JEDRAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2009
LAPORAN PRAKTIKUM
EKOLOGI PERAIRAN
KAJIAN EKOSISTEM TELAGA WARNA DAN
TELAGA PENGILON DI DIENG UNTUK BUDIDAYA

Oleh


Nama : Raina Dwi Putri Apriyani
Nim : HIH008021
TTL : Bekasi, 30 April 1990
Alamat : Jln. H. Madrani no. 15 Rt 07/ Rw 07

Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Responsi
Praktikum Ekologi Perairan Di Jurusan Perikanan dan Kelautan
Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto


Menerima dan disyahkan
Pada tanggal Desember 2009
Penulis Asisten


Raina Dwi Putri Apriyani Teguh Eko Wahyono
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan
Daftar isi
BAB I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
I.2 Tujuan
BAB II . TINJAUAN PUSTAKA


BAB III. MATERI DAN METODE

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN